[1] Nayla

30.6K 1.5K 29
                                    

Aku menatap keriuhan gerbang sekolah dari koridor lantai dua. Dengan kepala bertopang pada tangan di pagar, aku bisa melihat seorang lelaki berseragam putih abu-abu baru saja turun dari mobil sedan hitam yang mengilap.

"Duh, mereka itu enggak bosen apa ngejar-ngejar cowok itu? Aku yang lihat mereka aja bosen."

Icha yang berdiri di sebelahku menoleh.

"Karena mereka tertarik. Siapa sih yang enggak tertarik sama cowok kayak dia? Ganteng, tinggi, badannya bagus, cucunya yang punya sekolah lagi," balasnya.

"Aku! Aku enggak tertarik," kataku.

Icha menjitak pelan kepalaku. Lah, aku jujur, kan? Memang aku enggak tertarik padanya. Dibanding dia, Kak Radit, kakak kelas yang tahun lalu menjabat jadi ketua OSIS jauh lebih oke. Dipandang nyaman, otaknya juga isi. Kak Radit juga baik. Waktu kelas 10 dulu, aku pernah jadi panitia lomba lumayan dekat dengan Kak Radit. Itu juga yang membuat aku jadi suka dengan Kak Radit.

"Dibanding Nolan, Kak Radit lebih baik," gumamku.

"Otakmu emang udah penuh dengan nama 'Kak Radit', Nay. Kalo wajah Kak Radit aku bandingin sama Zayn Malik juga kamu bakal bilangnya gantengan Kak Radit," kata Icha.

Aku meringis. Aku memang enggak terlalu nge-fans dengan artis cowok dalam maupun luar negri. Cukup mendengar lagunya saja, aku sudah suka. Atau mengamati bermain film, itu sudah cukup. Aku enggak pernah yang sampai ikut konser atau apalah itu.

Aku kembali menatap lelaki yang berjalan paling depan dengan bejibun perempuan yang ada di belakangnya. Namanya Nolan, sang cucu pemilik sekolah dan punya sifat dingin melebihi kutub utara. Irit sekali kalau bicara. Aku pernah sekali berbicara padanya, di suruh Bu Molly mengembalikan laptopnya yang waktu itu beliau pinjam. Lelaki itu hanya menerimanya sambil dengan tatapan dingin berjalan meninggalkanku. Enggak ada ucapan 'terima kasih' atau sejenisnya. Karena itu aku enggak pernah tertarik melihatnya. Aku hanya tertarik melihat cewek-cewek yang memberikan hadiah-hadiah atau bekal makan siang. Enggak ada satu pun yang pernah dia terima. Tapi sedingin-dinginnya lelaki itu, tetap aja banyak fans-nya. Dan percaya atau tidak, aku dengar ada nama khusus bagi penggemar Nolan, Nolanatik.

Bagaimana aku bisa tahu padahal aku bilang kalau aku enggak tertarik?

Itu sudah menjadi buah bibir setiap hari di sekolah. Sehari di sekolah enggak ngomongin Nolan itu enggak mungkin. Selalu saja ada kabar baru. Si dia yang di tolak Nolan. Si dia yang hobinya bawain kue buat Nolan. Atau si dia yang kemarin ke rumah Nolan. Percuma menutup telinga, kabar itu juga akan tetap masuk lewat sela-sela jari tangan.

Memang sih, kalau dari segi penampilan, Nolan itu nilainya plus plus tak terhingga. Kulitnya kuning langsat dengan bentuk tubuh tinggi yang aduhai. Mungkin kotak-kotak ditubunya ada enam (enggak pernah ngintip sih hihihi...). Rambut coklatnya selalu tersisir rapi dengan poni yang hampir mengenai matanya. Wajah tampannya keturunan Medan. Aku bisa menebak itu karena saudaraku yang dari Medan wajahnya agak-agak mirip dia. Dan denger-denger dari salah satu Nolanatik, kakeknya adalah orang Medan. Kata orang-orang, Medan itu penghasil cowok ganteng dengan etos kerja yang baik yang membuat cewek-cewek pada kesengsem. Ah...

Aku menatap sinar mentari pagi yang mengarah ke arahku. Aku mengambil ponsel dan membuka kamera. Aku menatap pantulan wajahku di kamera. Memperbesar lensanya.

"Cha," panggilku.

Icha bergumam.

"Mataku bagus ya."

Icha melengos. Aku tekekeh. Ini sudah kesekian kalinya aku mengatakan hal ini padanya. Habisnya aku memang suka dengan mataku. Coklat jernih yang kalau terkena sinar matahari akan berbinar. Lihat aja di galeri ponselku. Foto-foto artis cuma sedikit. Kebanyakan isinya bola mata coklaku (yang indah) bermandikan sinar mentari. Icha sampai geleng-geleng kepala kalau sudah melihat galeri fotoku.

"Iya, Nona Nayla yang matanya paling cantik sedunia! Kamu sudah bilang ini berapa kali?! Heran deh, punya hobi kok muji diri sendiri," kata Icha gemas.

Aku tertawa. Aku paling senang kalau buat Icha gemas. Wajah kesalnya terlihat lucu. Pipinya mengembang dan dahinya berkerut. Icha memang punya wajah-wajah imut. Berbeda denganku yang wajahnya lebih menampilkan gadis dewasa.

Mataku membelalak saat aku menurunkan ponsel dari pandanganku. Sosok Kak Radit baru saja masuk dengan motor ninja hitam.

"Cha, turun yuk!" seruku.

Icha yang sedang memainkan ponselnya melirikku.

"Ngapain?" tanyanya.

"Udah, turun aja. Cepetan!" seruku.

Aku buru-buru mengantongi ponselku dan berbalik badan. Bersiap berlari sekuat tenaga menuruni tangga yang hanya berjarak beberapa langkah dariku. Tapi sialnya, gara-gara terlalu terburu-buru, aku menabrak tubuh seorang cowok yang baru saja naik. Badanku hampir saja terpental kalau aku tidak segera bertumpu pada kaki menahan tubuhku. Tatapanku bertemu dengan mata dingin Nolan.

Ya Tuhan! Mati aku!

Masa bodoh tentang Nolan sekarang. Aku mau cepat-cepat turun, bertemu Kak Radit. Sudah dua hari alias Sabtu-Minggu aku enggak melihat wajahnya.

Namun baru saja aku mengayunkan satu langkah, tanpa sengaja aku menendang sebuah ponsel hitam -yang baru kusadari ada di dekat kakiku-dan terpental jatuh ke tangga. Suara pletak berkali-kali membuatku meringis. Ponsel itu berhenti di anak tangga ke lima dari atas. Tunggu! Sekelompok gadis tiba-tiba berlari naik ke tangga, tidak menyadari ada ponsel yang kutaksir harganya sangat mahal tergeletak di anak tangga. Ponsel itu terinjak berkali-kali dan kembali jatuh. Sempurna, ponsel itu tergeletak di lantai dasar.

Aku bengong. Aku menatap ponsel hitam yang terlihat sudah lecet-lecet dari atas sini. Ini gawat! Gawat sekali! Ponsel itu bukan milik orang sembarangan. Ponsel itu milik cucu nomor satu di sekolah ini. Icha yang berdiri di belakangku juga terperangah. Bahkan gadis-gadis menyebalkan itu akhirnya berhenti berteriak dan ikut memandang ponsel Nolan yang sudah naas di lantai dasar.

BRAK!

Lebih sempurna lagi, ponsel itu tanpa sengaja tertendang oleh siswa lain yang lewat. Aku menjerit. Aku menatap Nolan takut-takut. Laki-laki itu juga terlihat bengong. Tapi kemudian dia menatapku tajam.

"Lo!"

Aku menelan ludah. Ini buruk! Lebih buruk daripada remidi ujian seluruh mata pelajaran. Satu hal yang bisa kulakukan sekarang adalah...

"Ayo, Icha!"

Aku berseru menarik tangan Icha, berniat kabur kembali ke kelas. Namun belum sempat lari, seseorang menarik kerah seragamku yang otomatis menarik rambut hitam panjangku juga. Aku memekik. Nolan menatapku tajam.

"Lo! Temuin gue di rooftop sekolah istirahat pertama! Lo enggak dateng, lihat aja besok!" ancamnya.

Aku susah payah menelan ludah. Mengangguk perlahan. Nolan melepaskan cengkramannya. Aku buru-buru menarik Icha, berlari menuju ke kelas.

Tidak! Hanya dalam waktu lima menit, masa depanku di ambang kehancuran!!!

-----

Jangan lupa vote dan komennya ☺☺☺

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang