[11] Nayla

9.5K 903 5
                                    

Aku lupa kapan tepatnya aku memiliki ketakutan berlebihan terhadap gelap. Yang jelas setiap aku berada dalam kegelapan dan sendirian, aku merasa sangat ketakutan. Aku merasa di suatu tempat, ada seseorang yang sedang memperhatikanku diam-diam. Jantung berdetak kencang. Perutku melilit rasanya ingin muntah. Kepalaku pusing, sangat pusing sampai aku rasa sedang gempa. Aku berkeringat dingin.

Aku selalu sendirian. Setiap di rumah mati lampu, aku sendirian. Mati-matian menahan ketakutanku di kamar. Sekarang aku harus sendirian lagi di dalam gudang gelap ini. Tapi sekarang memikirkan nasibku sedikit bisa mengalihkan ketakutanku.

Aku duduk di sudut gudang, menundukkan kepala. Aku mengingat kejadian yang berusan menimpaku beberapa menit lalu. Sekelompok perempuan itu, Nolanatik, mereka mengunciku di gudang ini. Mereka mendorongku kasar sampai lutuku berdarah. Aku tidak tahu kenapa aku begitu di benci. Apa hanya karena aku dekat dengan Nolan, mereka harus sampai melakukan hal ini padaku? Kenapa mereka begitu membangga-banggakan Nolan di saat cowok itu bahkan enggak pernah menyadari kehadiran mereka?

Menyedihkan.

Hidup mereka bahkan lebih menyedihkan daripada nasibku sekarang.

Aku memeluk kedua lututku erat, memendam kepalaku dalam kedua lututku. Sampai kapan aku berada di sini? Icha, apa dia tahu?

Dengan tangan gemetar, aku berusaha meraih ponsel di dalam sakuku. Susah payah aku berusaha menahan agar aku bisa mengenggam ponselku, tapi itu hanya bertahan sebentar saja. Detik berikutnya ponselku jatuh. Aku tidak sanggup mengenggamnya. Masih dengan tangan gemetar, aku mencari gambar senter. Aku menyentuhnya dan akhirnya menyalalah cahaya dari ponselku. Aku sedikit bernafas lega. Setidaknya aku ada kemajuan dalam menghadapi fobia gelap ini.

Tapi kelegaan itu hanya berlangsung sebentar saja. Saat aku mendengar suara derap langkah kaki, jantungku kembali berdetak sangat kencang. Aku takut. Sungguh, aku takut. Suara kaki itu sangat dekat, aku merasa suara itu berada di dalam ruangan ini. Aku kaget saat mendengar suara berisik di pintu. Seperti suara gembok yang sedang dibuka.

Kriet.

Pintu terbuka. Bayangan buruk langsung berkelebat dibenakku. Bagaimana kalau itu ternyata bukan orang sekolah? Melainkan orang jahat yang dikirimkan Thalia untuk menculikku. Atau yang lebih menyeramkan bagaimana kalau ternyata itu bukan manusia? Atau jangan-jangan ini hanya ilusiku saja.

"Nayla??"

Aku terperangah mendengar suara berat yang memanggil namaku. Suara yang khas di telingaku. Dengan kekuatan yang tersisa, aku berusaha menganggam erat ponselku dan mengarahkan cahayanya ke pintu. Aku kaget saat menemukan sesosok laki-laki memakai seragam SMA berdiri di depan pintu. Spontan saat itu aku langsung berusaha mengembalikan seluruh tenagaku. Aku tidak boleh kelihatan menyedihkan dihadapan laki-laki itu. Bisa-bisa aku semakin habis diejek olehnya.

Aku menelan ludah.

"Itu manusia...kan?" tanyaku masih kurang yakin.

Hening sejenak.

"Enggak. Gue setan!"

Mendengar seruan kasar itu, aku mengehla nafas lega. Berarti laki-laki itu sungguhan Nolan. Justru kalau dia jadi baik, aku takut kalau laki-laki itu hanya jelmaan Nolan saja.

Aku berdiri dan berjalan mendekat ke arahnya. Beberapa langkah agak jauh darinya, aku berhenti. Apakah aku masih terlihat seperti orang yang ketakutan?

Sepertinya iya. Nafasku masih tidak teratur meskipun aku sudah merasa sedikit tenang. Aku pasti terlihat kacau dihadapannya. Bagaimana ini? Aku enggak mau dia melihat kelemahanku. Apalagi kalau dia tahu aku fobia gelap. Apa yang dia katakan nanti? Dia pasti menghinaku macam-macam.

"Lo kok bisa di sini?" tanyanya dingin.

Aku menatapnya sejenak. Kuatkan dirimu, Nayla!!

Aku tertawa kecil. "Iya, tadi aku nyari barang terus ke kunci. Heheh...aku emang teledor ya..."

Nolan hanya diam. Apa yang akan sedang dia pikirkan? Semoga aktingku berhasil.

"Itu enggak lucu."

Aku langsung diam.

"Gue tahu selama ini lo boong. Bahkan sekarang pun lo masih boongin gue. Gue enggak ngerti kenapa lo harus boong sama gue."

Astaga! Kenapa dia bisa tahu? Ah sudahlah, aku juga tidak punya alasan lain buat bohong lagi. Setelah ini kalau dia mau menghinaku biar saja.

Aku mengangguk pelan.

"Aku...cuma enggak mau...dikira lemah sama kamu. Kamu senang, kan?"

Nolan diam, tidak membalas perkataanku. Aku ikut diam. Aku merasakan semilir angin menembus seragamku dan menusuk kulitku. Perutku kembali terasa mual. Kepalaku yang tadi hanya terasa pusing sekarang tiba-tiba berputar. Kakiku terasa lemas. Ah, berat sekali rasanya.

Pandanganku buyar. Aku sempoyongan. Sebuah tangan kokoh menangkapku. "HEI!"

Itu adalah seruan terkahir yang aku dengar sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri.

***

Kepalaku terasa berat. Aku membuka mataku. Mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang bewarna putih.

Aku di mana?

Aku teringat kejadian terakhir sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri. Aku berada di dalam gudang. Nolan menyelamatkanku. Aku mendelik. Aku berniat bangun. Namun belum sampai aku duduk sempurna, kepalaku terasa sakit dan aku mengeluh kesakitan.

"Argh!"

"Hei!"

Aku menoleh ke asal suara. Nolan sedang berdiri menghadap tembok yang dipasang pigura besar berisi poster tentang gigi. Dia menatapku heran.

"Lo diem aja, jangan banyak gerak," katanya.

Dia berjalan menuju nakas dan mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di sana. Dia menyerahkannya padaku. Aku menelan ludah. Kenapa ada dia di sini?

"Gue enggak mau disalahkan kalau lo kena dehidrasi," kata Nolan.

Aku buru-buru mengambil segelas air putih yang dipegang Nolan. Aku meminumnya sambil bersandar pada tembok yang kulapisi dengan bantal. Aku menatap Nolan yang sekarang sedang berdiri di depan laci obat, mencari sesuatu.

"Kamu kok di sini?" tanyaku.

Dia sejenak diam. "Kabur dari pelajaran."

Aku ber-oh. Tentu saja dia pasti punya alasan logis yang membuat dia memilih untuk tinggal di sini daripada membiarkanku sendirian di UKS.

Aku menatap jam dinding di tembok UKS. Jarum pendek menunjuk angka lima. Aku berkerut. Ini jam lima...sore??

Astaga!

"Ini udah jam lima sore?!" tanyaku panik.

"Lo pikir ini masih siang?" tanya Nolan balik.

Aku langsung menyibakkan selimut yang menutup kakiku dan berniat berdiri. Nolan pasti kesal menungguku sadar. Seharusnya aku membawakan buku-buku musiknya dan dia sudah berada di tempat latihannya sejak tadi. Sial sekali sih hari ini!

Baru saja aku berniat berdiri, kepalaku kembali terasa sakit. Aku mengerang. 

"Ya ampun, nih anak! Gue bilang lo diem ya diem aja!" seru Nolan.

Dia menghampiriku dan mendorong bahuku, memaksaku untuk duduk.

"Tapi sekarang harusnya kamu sudah ada di tempat latihan. Dan aku harusnya bawain buku-buku musikmu," bantahku. Aku menepis tangan Nolan dan berniat kembali berdiri. Namun Nolan kembali mendorong bahuku, memaksaku untuk duduk. Dia menahan tangannya di kedua bahuku, kemudian menghela nafas.

"Cukup. Hutang lo udah terbayar."

Aku terdiam. "Hah?!"

-----

Jangan lupa vote dan komennya :)

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang