[44] Epilog (Author's POV)

9.6K 795 10
                                    

"Gue itu sukanya ama lo, bukan sama Thalia."

Nayla menoleh. Jantungnya langsung berdetak kencang ketika dia menyadari wajahnya hanya beberapa centi dari Nolan yang sedang tersenyum manis. 

"Happy Birthday, Nayla." 

Suara berat Nolan yang terdengar lembut membuat dada Nayla semakin berdebar-debar. Pikirannya langsung kosong. Dia mencubit pipinya. Nayla meringis. Ini memang bukan mimpi. Ini kenyataan. 

"Lo ngapain?"

"Aku ini lagi mimpi, kan?! Enggak mungkin kamu suka sama aku beneran. Bohong! Ini pasti mimpi!" seru Nayla masih tak percaya. 

Dia memukul pipinya berulang kali, namun tetap tak ada yang terjadi. Nolan menatapnya bingung. Nayla menatap Nolan kaget. 

"Kamu serius?!" 

"Harus dengan cara apa lagi, biar lo percaya?" tanya Nolan balik. 

Nayla terkejut. Dia menatap kalung perak berbandul N yang menggantung indah di lehernya. Ini semua memang sangat nyata. Nayla menatap Nolan ragu. 

"Kenapa? Di banding Thalia...."

"SSHH! Diem! Jangan bicara kalau yang mau lo bahas itu Thalia. Gue enggak ada apa-apa sama dia. Waktu itu dia yang sengaja ngelakuin itu tanpa persetujuan gue. Kenapa gue nolak? Karena waktu itu gue terlalu gugup mau bicara sama lo. Gue bingung harus gimana caranya ngomong tentang ini ke lo, sampai tanpa gu sadari, ada Thalia yang manfaatin gue waktu itu."

Nayla diam. Itu alasan yang logis. Hari itu memang Nolan mengajak Nayla ketemuan. Dan meskipun tidak sampai satu tahun Nayla dekat dengan Nolan, Nayla tahu Nolan itu cowok yang seperti apa.  

Nolan menatap Nayla. "Selama ini yang udah memberikan banyak pelajaran hidup ke gue itu lo, Nay. Mungkin baru pertama kalinya gue merasa bersyukur barang kesayangan gue ada yang rusak. Karena dari situ gue bisa menemukan hal penting lainnya. Seseorang yang lebih gue sayang dan berarti daripada hp itu." 

Nayla terdiam. Wajahnya bersemu merah. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi karena terlalu bahagia. Tapi Nayla bukan gadis yang  mengekspresikan perasaannya secara langsung. Dia tahan, sampai Nolan benar-benar menyelesaikan perkataannya. 

"Gue itu enggak punya pengalaman apa-apa soal cinta, Nay. Jadi tolong dimaklumi kalau gue ini enggak romantis. Gue juga bukan cowok yang suka manis-manis kayak begituan. Tapi kalau gue udah menemukan sesuatu yang berharga, gue akan menjaga itu dengan baik-baik. Gue enggak akan merusaknya, gue enggak akan meminjamkannya ke orang lain, dan gue enggak akan membiarkan orang lain memilikinya. Sama kayak lo. Karena lo itu berharga bagi gue."

Nayla menatap Nolan tidak yakin. Sejujurnya masih sedikit rasa ragu di hati Nayla. Selama ini sikap Nolan memang membuatnya bingung. Kadang hadir untuk menemaninya, tapi kemudian meninggalkannya pergi begitu saja. Kadang Nolan membuat perasaannya menjadi lebih baik, tapi di sisi lain membuat perasaannya jadi kacau. 

"Kamu serius, kan? Aku enggak pernah paham sama sikapmu selama ini. Mungkin aja hari ini kamu jadi sosok Nolan yang manis, tapi besok kamu jadi jahat lagi. Selama ini kamu selalu jadi kayak gitu, kan?"

Nolan menghela nafas panjang. Dia tidak menyalahkan Nayla kalau memang cewek itu masih ragu. Selama ini memang dia plin-plan. Tapi alasan yang membuat dia seperti itu adalah karena dia pikir Nayla tidak menyukainya. 

"Gue akan bilang yang sejujurnya ke lo. Gue sudah suka sama lo itu dari lama, tapi gue pikir lo enggak suka sama gue, jadi setelah itu gue selalu bersikap menyebalkan supaya gue juga benci sama lo. Tapi setelah gue belajar dari Alan, juga Zidan, gue tahu seharusnya gue harus menyatakan perasaan gue dulu. Dan asal lo tahu, setelah gue mengatakan perasaan gue ini, semenit ke depan itu sudah beda. Apa lo pernah lihat gue ngasih kado ke cewek? Apa lo pernah lihat gue betah lama-lama di dekat cewek? Apa lo pernah lihat gue sampai sepanjang ini berbicara ke cewek soal perasaan gue?"

Nayla diam. 

"Gue bukan orang yang suka bercanda kayak Alan. Jadi gue ini serius."

Nayla menatap Nolan sungguh-sungguh. Tidak ada kebohongan di sana. Nayla tahu kalau Nolan tulus mengatakan itu. Nayla menghela nafas panjang. 

"Aku bahkan berpikir kalau aku ini enggak normal, waktu aku berharap hari ini kamu mengucapkan ulang tahun padaku."

Nolan tersenyum. Dia menarik Nayla dan memeluknya. Nayla kaget

"Mungkin setelah itu gue enggak cuma akan ngucapin lo ulang tahun aja. Jadi berharap yang lebih kepada gue itu enggak ada masalahnya." 

Nayla membalas pelukan Nolan erat. Ini hanya soal waktu ketika mereka berdua saling mengetahui perasaan yang satu dengan yang lain. Dan soal keberanian agar Nolan juga tahu kenyataannya. Tapi yang terpenting, menyukai seseorang, mencintai seseorang, itu adalah sebuah kebahagiaan. Entah ke depannya mau jadi seperti apa, kalian yang memilih. Berani untuk menyampaikan, sabar untuk menunggu, atau ikhlas untuk melepaskannya. 

Nolan, walapun ragu pada awalnya, tapi akhirnya dia menunjukkan keberaniannya untuk menyampaikan perasaan kepada Nayla. 

Nayla, meskipun sudah menelan pahitnya patah hati, dia tetap bertahan dengan kepribadian tangguhnya untuk tetap memiliki perasaan kepada Nolan. 

Dan yang paling penting menjadi seperti Zidan, bukan seperti Thalia yang egois, cowok itu lebih memilih untuk ikhlas melepaskannya ketika dia sudah tahu kenyataan yang ada bahwa Nolan dan Nayla memang saling mencintai.

____

Masih ada part bonus lagi... jangan lupa vote komennya ya ^^ 









Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang