Aku meringkuk kesepian di sofa ruang keluarga. Hari ini adalah hari paling berat seumur hidupku. Ketika akhirnya aku memutuskan untuk tinggal bersama mama, dan meninggalkan papa. Air mataku sudah terkuras habis sejak pagi. Sekarang energiku juga ikut terkuras habis. Hanya bisa tertidur sambil memeluk kedua lutut di atas sofa ruang keluarga.
Aku kesepian. Aku kangen papa.
Kenapa aku enggak kembali ke kamar? Karena setiap kali aku ke sana, bayangan papa selalu muncul begitu saja. Dulu papa selalu senang membacakan dongeng sebelum tidur. Beliau duduk di sudut kasur, menungguku selesai sikat gigi di kamar mandi. Ketika aku membuka pintu, papa sudah siap dengan buku dongeng dan aku akan meloncat kegirangan ke atas ranjang.
Aku tersenyum getir. Itu memang sudah lama berlalu, dan aku sudah remaja sekarang. Enggak mungkin aku tidur sambil didongengin lagi. Tapi kenangan itu membuatku benar-benar rindu kepada papa. Sehari saja, aku mohon, papa kembali duduk di sana. Aku masih menyimpan buku dongeng itu, papa bisa menggunakan lagi. Sekalipun sekarang aku sudah remaja, sekali saja aku ingin kembali seperti dulu. Tapi aku tahu, sekali saja pun itu enggak akan terwujud.
Aku yakin mama lebih terpukul. Sangat Lebih terpukul dariku. Apalagi saat tadi aku tak sengaja mendengar, papa akan segera menikah lagi. Hatiku seakan teriris saat itu, tapi mama...mungkin sudah tercabik-cabik. Sekarang mama mengurung diri di kamar. Andai aku bisa menghibur mama. Sayangnya menghibur diriku saja aku juga enggak mampu. Setidaknya aku sedikit bernafas lega ketika Icha bilang akan ke sini.
Bel rumah berbunyi. Aku bangun. Itu pasti Icha. Aku segera membuka pintu, mataku terasa gatal. Mungkin ini efek menangis berjam-jam.
Aku mengangkat kepala ketika di depan pagar, berharap aku bisa melihat wajah Icha yang tersenyum senang memberiku semangat. Tapi yang kutemukan justru wajah Nolan yang menatap datar ke arahku. Aku kaget. Ada angin apa dia kemari?
Aku gelegapan. Aku sadar keadaanku sangat kacau sekarang. Rambutku pasti berantakan. Mataku sembab. Hidungku merah. Argh! Ini memalukan!
"Kenapa?" tanyaku dengan nada serak.
"Lo enggak bukain gue pagar?" tanyanya balik masih dengan wajah datarnya.
Aku menghela nafas panjang. Aku sedang enggak ada minat buat berurusan dengan cowok menyebalkan yang satu ini. Membuatku jadi sadar akan beban hidupku yang jadi semakin berat.
Dengan berat hati, aku membukakan pagar.
"Aku sedang enggak..eh!"
Aku nyaris berteriak saat tiba-tiba tubuhku ditarik Nolan.
Nolan....
....memelukku.
Aku kaget. Sedang kerasukan malaikat apa cowok ini, hah?
"Plis, kali ini lo harus cerita sama gue semuanya."
Entah malaikat macam apa yang merasukinya, tapi suara lembutnya membuat hatiku berdesir. Pelukannya terasa begitu hangat, membuatku jadi ingat segala kenangan bersama mama dan papa. Air mataku yang sudah kering, kini dibasahi lagi oleh air mata yang baru. Aku terisak. Di dalam dekapan Nolan, aku menangis kembali. Aku lupa betapa menyebalkannya dia, menjengkelkannya dia, dia selalu ada saat aku menangis. Mendekapku hangat, membuatku menjadi larut dalam kesedihan lagi, tapi berangsur habis.
Aku tidak mengerti tentang dirinya.
***
Aku duduk di atas ayunan di taman yang kosong. Di sampingku, Nolan juga duduk di atas ayunan yang lain. Kami terdiam cukup lama. Aku bingung harus bagaimana menjelaskan pada Nolan.
"Orangtuaku cerai," aku memulai pembicaraan dengan nada serak.
"Aku enggak mengerti alasan khususnya, tapi mama dan papa sudah bertengkar sejak lama. Saat kamu yang melihat papa memarahiku, itu benar, ada sesuatu yang terjadi pada keluargaku. Tapi aku pikir ini akan selesai, hanya masalah biasa, bukan masalah besar. Ternyata, aku yang salah besar," kataku menjelaskan.
Aku mengusap wajah. Memikirkan kenapa hidupku bisa langsung jungkir balik seperti ini.
"Aku juga dengar, papa akan menikah lagi," kataku dengan nada bergetar.
Aku menutup wajahku. Mungkin Nolan akan menilaiku sebagai gadis cengeng dan menyusahkan, enggak apalah, aku enggak ingin berpura-pura lagi. Menjadi sok tegar itu melelahkan.
"Kenapa lo enggak cerita dari sejak gue tanya?" tanya Nolan.
Aku menghembuskan nafas.
"Aku enggak mau menjadi beban. Aku enggak menceritakan pada siapa pun, termasuk Icha. Aku enggak ingin mengkhawatirkan banyak orang."
"Tapi kadang, lo juga butuh orang lain, kan? Enggak bisa lo simpan semua itu sendirian. Sekalipun gue yang benci pergaulan, lo udah tahu cerita tentang ayah gue."
Aku diam. Nolan memang benar, pada akhirnya aku juga membutuhkan orang lain sebagai tempat ceritaku. Enggak peduli jika orang itu sangat menyebalkan, kadang aku juga akan membutuhkannya. Justru orang itu yang akan membuatku menjadi tenang.
Nolan mengacak-acak rambutku.
"Biarkan ini berjalan seperti ini dulu. Semuanya baik-baik aja. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan."
Aku menatap Nolan. Aku tahu dia berusaha menghibur, tapi perkataannya itu mengandung makna yang sesungguhnya. Seolah aku menjadi yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku mengangguk pelan. Iya, biarkan semuanya berjalan begini dulu saja. Semuanya akan baik-baik saja.
Aku melirik Nolan lagi.
"Boleh kenalan enggak?" tanyaku bercanda.
Nolan berkerut. "Hah?!"
"Namanya siapa? Aku tahu kamu bukan Nolan, Nolan enggak sebijak ini. Jadi aku yakin kamu pasti bukan Nolan."
Nolan terkekeh. Aku diam. Baru kali ini aku melihat Nolan tertawa begitu lepas. Aku terpesona.
"Kenalin....nama gue Zayn Malik."
Aku tertawa. Sejak kapan Nolan menjadi pelawak receh seperti itu?
"Receh banget sih," balasku.
"Yang mulai duluan kan lo, yaudah," balasnya santai.
Aku tersenyum. Tanpa kusadari, akhirnya aku bisa tertawa lagi. Setelah berjam-jam, bermalam-malam, menangis sampai bengkak, hari ini aku benar-benar merasakan bahagianya kembali tertawa.
Dan itu bersama Nolan.
"Besok sekolah?" tanya Nolan.
Aku tersenyum jahil. "Kengen ya?"
"Enggak juga sih. Kalau lo besok masuk, gue bisa milih buku-buku tebal yang bisa gue bawa besok supaya lo keberatan," kata Nolan santai yang di telingaku menjadi nada menjengkelkan.
Aku mendelik. "Enak aja!"
Nolan tersenyum. Dia bangkit dari duduknya. Dia mengulurkan tangannya padaku.
"Bercanda. Ayo pulang."
Aku menatap uluran tangannya. Terkadang dia bisa terlihat lembut dan membuat jantungku berdetak kencang. Namun kadang dia menjadi cowok menyebalkan yang membuat aku naik pitam. Aku enggak mengerti, bagaimana dia sebenarnya melihatku. Apa yang dia lakukan ini, itu hal yang normal bagi majikan kepada pesuruhnya, kan?
Ya, aku dimata Nolan pasti enggak akan lebih dari itu. Cewek yang enggak bisa membayar kerusakan ponselnya, dan menjadi pesuruhnya saja.
-----
Jangan lupa vote dab komennya ☺☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...