[5] Nolan

11.5K 1K 10
                                    

Gue berhenti ketika melihat seorang cewek berdiri gelisah di depan gerbang sekolah saat jam pulang. Cewek itu celingak-celinguk mencari seseorang.

Gue tersenyum miring. Kayaknya dia ketakutan kalau gue udah pulang duluan.

Oiya... Siapa nama cewek itu?

Nayla?

Iya, iya, gue inget namanya Nayla.

Tunggu! Kok gue bisa langsung hafal sih? Gue enggak pernah hafal nama cewek yang selalu beritahu namanya ke gue. Malas bangetlah. Memori otak gue penuh hanya gara-gara mengingat nama cewek yang sama sekali enggak berarti bagi gue. Eits! Gue bilang gitu bukan berarti cewek bernama Nayla itu berarti bagi gue ya. Mungkin karena dia yang sudah ngerusak hp dari papa ini, makanya gue inget namanya.

Gue mendekat. Nayla terlihat lega.

"Aku pikir kamu udah pulang..." katanya was-was.

Gue mengangkat alis. Peduli amat! Gue langsung berjalan meninggalkannya.

"Hei! Tunggu!"

Gue berjalan menuju parkiran, menghampiri mobil hitam yang paling mengkilap diantara mobil-mobil yang ada.

Nayla kelihatan bengong melihat mobil hitam ini.

"Masuk!" perintah gue.

Nayla menatap gue enggak yakin. Gue mendelik. Menyuruhnya untuk masuk. Buang-buang waktu aja.

"Kamu enggak mau ngapa-ngapain aku, kan?" tanyaku takut.

Astaga! Dia pikir gue cowok kayak Alan? Cewek paling cantik di sekolah aja gue tolak apalagi cewek yang tampangnya biasa-biasa aja kayak dia.

"Jangan ngarep ya."

Nayla mendelik. "Ih siapa yang ngarep!"

Dia langsung berjalan menuju pintu belakang dan membukanya.

"Eh, eh, eh!"

Gue menahannya supaya dia enggak masuk. Nayla menatap gue kesal. Kayaknya dia enggak terima gue katain tadi. Lagian pikirannya aneh-aneh aja.

"Emang gue supir lo?! Duduk di depan!"

Nayla melengos. Tanpa membantah, dia langsung membuka pintu penumpang depan dan menutupnya dengan keras. Gue tersenyum puas. Gue masuk ke bagian kursi pengemudi. Dari dalam mobil, gue bisa melihat tatapan-tatapan aneh dari beberapa cewek yang berhenti di dekat mobil gue dan menatap gue dan Nayla heran.

Hah! Kapok kalian! Makanya kalau mau deket gue, harus bisa buat gue marah dulu.

Kayaknya enggak cuma gue yang merasa pandangan cewek-cewek itu mengarah ke kami. Nayla menoleh.

"Tuh ya, cewek-cewek yang kamu kasih jampi-jampi, aku enggak mau nanggung kalau mereka marah sama aku," katanya kesal sambil menunjuk-nunjuk. "Ini bukan permintaanku tapi kamu sendiri," lanjutnya.

Gue meliriknya. "Bodo amat!"

Nayla mengerang. Gue emang enggak peduli sama mereka. Apalagi mereka yang tergabung di kumpulan pecinta gue, apa namanya??? Nolanfatik? Nolanantik? Ya itu deh pokoknya, gue lupa. Gue cuma bisa geleng-geleng kepala.

Emang gue artis apa?

Mobil melaju, mulai meninggalkan parkiran SMA. Gue melirik Nayla yang membungkukan tubuhnya dan menutup kaca dengan tas.

"Ngapain lo??" tanya gue heran.

"Sembunyi. Kaca mobilmu terang, aku enggak mau di lihat sama fans-fansmu itu."

Gue hanya ber-oh. Muncul sebuah ide jahil. Dengan sengaja, gue menginjak rem mobil dengan tiba-tiba.

BRAK!

Nayla mengaduh saat tubuhnya menabrak laci mobil. Gue tertawa kecil. Dia menggerutu sambil mengelus-elus dahinya yang tertutup poni.

"Eh! Kamu...AAA!!"

Gue langsung menginjak gas, membungkam gerutuan Nayla dengan teriakan. Cewek itu terjungkal ke sandaran belakang dan mengumpat.

"Nyebelin banget sih kamu! Belum sampe lima menit aku di sini kamu udah buat aku jantungan!" serunya kesal.

Gue tertawa.

Nayla menggerutu.

"Emang mau ke mana sih?"

Gue cuma diem, enggak menjawab. Gue membesarkan volume radio. Suara musik mengalun ke setiap sudut mobil.

Nayla menghela nafas.Gue tahu, dia pasti benci gue bersikap seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Ini memang sifat gue. Apalagi ke cewek. Alan bilang, gue cowok paling enggak romantis. Masa bodoh! Selama gue masih punya keluarga yang mencintai gue, gue enggak butuh cewek lain.

Dalam waktu 15 menit, gue sudah sampai di depan gedung putih yang lumayan besar. Gue mengambil sesuatu dari kursi di belakang. Tiga buku musik tebal. Gue menyerahkannya pada Nayla.

"Apa nih?" tanyanya heran.

"Udah terima aja."

Nayla merebutnya kasar.

"Iya, iya! Dingin amat sih!"

Gue mengabaikan cibirannya dan turun dari mobil. Nayla mengikuti gue dari belakang sambil membawa tiga buku tebal di dekapannya.

"Kamu les musik?" tanyanya heran.

Gue cuma diem, mengabaikan pertanyaannya. Gue membuka pintu kaca dan hawa sejuk AC langsung menyapaku. Orang-orang lalu lalang di dalam sana. Ada yang bawa biola, gitar, atau drum stik. Koridor yang bising seperti biasa. Nada-nada musik yang saling bertabrakan. Beberapa gadis menyapa gue, tapi gue hanya berjalan cuek melewati mereka.

Gue berhenti di depan pintu kayu putih bertuliskan 'NOLAN'S ROOM'. Ruangan ini memang sengaja khusus dibuat untuk gue.

"Lo..."

Perkataan gue berhenti saat gue menoleh dan enggak menemukan sosok Nayla di belakang.

Ternyata cewek itu berhenti beberapa langkah agak jauh. Dia terpaku menatap sesuatu di ruangan samping kiri.

Duh, lemot banget sih!

Gue menghampirinya dan menjitak kepalanya.

"Aduh!"

Salah sendiri buat gue mangkel. Emang apaan sih yang dia lihat? Grup band abal-abal yang sedang latihan?

Di sini memang banyak band-band yang latihan. Biasanya mereka latihan di ruangan kaca, jadi orang-orang bisa lihat mereka latihan. Tapi gue rasa semua band di sini abal-abal, enggak ada yang bagus meskipun udah di latihan lama. Paling juga cuma satu dua yang berhasil diundang konser. Sisanya masih nangkring di gedung ini atau konser kecil di kafe. Emang kalau dari pandangan gue, merekanya juga enggak serius.

"Kak Radit latihan di sini?"

Hah?!

Gue menatap sekelompok band itu. Mata gue menangkap seorang lelaki dengan seragam putih abu-abu yang sedang memainkan gitar. Gue tahu dia. Kakak kelas gue yang mantan ketos. Cih! Gue heran kenapa dia bisa jadi ketos. Muka dua. Jelas Radit enggak ada sopan-sopannya kalau di sini. Hobi nge-bully anak baru yang cowok. Playboy cap tuna. Di mata gue Alan bahkan lebih baik darinya.

Tapi melihat Nayla yang kelihatannya begitu terpukau dengan Radit, rasanya gue tahu kalau anak ini juga udah kena jampi-jampinya.

"Eh lo ke sini jangan jadi penghambat gue ya."

Nayla menatap gue sejenak kemudian menghela nafas.

"Iya, iya, maaf. Nih,"

Dia menyerahkan setumpuk buku tebal yang ada di tangannya pada gue. Gue menatapnya heran.

"Lo peganglah. Lo harus nemenin gue, sampe selesai latihan!"

Cewek itu mendelik.

"HAH?!"

------

Jangan lupa vote dan komennya ☺☺☺

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang