Hari ini Sabtu. Hal pertama yang gue ingat ketika gue bangun tidur adalah, hari ini ulang tahun Nayla. Gue sudah menyiapkan sesuatu, tapi gue belum menentukan kapan gue akan memberikan ini padanya. Dan ini bukan hanya soal memberikan aja, tapi ada hal lain yang penting yang harus gue sampaikan.
Gue menyuruh Alan ke sini, satu-satunya orang yang gue pikir dia bisa membantu gue.
"Lo mau ke rumah dia kapan?" tanya Alan.
Gue mengedikkan bahu. "Malam mungkin."
Alan melemparkan bantal kecil pada gue. Gue mengaduh.
"Lo ngapain sih?! Ngajak gue perang bantal? Sori ya, tapi gue enggak ada waktu."
"Lo itu jadi cowok harus tegas. Sekarang ya sekarang. Siang ya siang. Malam ya malam. Jangan pake mungkin. Lo ini mau bilang perasaan kok enggak yakin."
Gue diam. Sebenarnya dibanding gue, Alan itu jauh lebih baik. Gue akui itu.
"Oke, gue bakal bilang nanti malam."
"Tunggu! Dia enggak kerja? Lo pernah bilang ke gue kalau dia kerja, kan?"
Gue menepuk jidat. Oiya, gue lupa.
"Trus kapan?"
Alan melirik jam. Kemudian dia melihat hpnya. Bukannya jawab pertanyaan gue, dia malah asyik lagi main hp. Gue mendengus.
"Lo ini niat bantuin gue atau cuma numpang internetan sih?"
Alan terkekeh.
"Oke, oke. Yaudah, gimana kalau sekarang aja."
Gue melirik jam. Jam 1 siang.
"Mobil gue di pake mama."
Alan tersenyum angkuh. "Apa gunanya gue di sini, heh?" katanya sombong sambil menunjukkan kunci motornya. Gue tersenyum kecut.
"Tapi lo nanti harus langsung pulang!"
"Jahat amat sih. Kalo gue di sana di suruh masuk, ya gue masuklah. Udah deh, yok, nanti keburu makin panas."Gue meraih seuntai benda kemudian mengantonginya. Niatnya gue mau pergi sendiri. Tapi mobil gue dipake mama. Sedangkan motor Alan motor manual. Gue enggak bisa pake motor manual, jadi dengan terpaksa Alan juga ikut nganterin gue. Huh!
Gue pikir semua akan berjalan normal ya. Alan nurunin gue di rumah Nayla, kemudian gue bilang ke Nayla, dan urusan selesai. Tapi gue sadar, kalau semuanya jadi enggak semudah itu.
Hampir mendekati rumah Nayla, Alan tiba-tiba meminggirkan motornya.
"Ngapain lo?!"
"Aduh, Bro! Maag gue kambuh tiba-tiba nih!"
Maag? Gue enggak inget kalau Alan punya penyakit maag.
"Lo punya maag?"
"Iyaa! Akhir-akhir ini gue jadi sering maag."
Jiaaaah! Kalau jadi kayak gini mending gue naik taksi aja tadi.
"Kok bisa?! Terus ini gimana?"
Gue juga bingung. Gue enggak mungkin naik motor Alan, gue enggak bisa. Dan juga masa gue ninggalin Alan sendirian di sini? Kejem banget gue jadi sahabat.
"Aduh!!! Bro, lo bisa beliin obat gue bentar enggak? Di sini ada apotek atau minimarket atau apa gitu?" tanya Alan kesakitan.
Gue bingung. Kalau apotek gue enggak tahu. Tapi seingat gue ada sih minimarket deket sini. Di dekat tikungan beberapa meter di depan.
"Yaudah, yaudah, gue beliin. Lo sendirian di sini?"
Alan mengangguk.
"Yakin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...