[21] Nayla

8.5K 752 4
                                    

"Apa?! Jelas-jelas ini salah kamu! Kamu yang mulai duluan!"

Aku tersentak kaget ketika mendengar teriakan menggelegar dari dalam rumah saat aku membuka pintu. Itu seperti suara papa.

"Salah aku?! Kamu sama sekali sudah enggak peduli denganku lagi! Di otakmu itu yang ada cuma kerja, dan kerja!"

Itu terdengar seperti teriakan dari mama. Tubuhku menegang. Apa yang terjadi? Perlahan aku melangkah masuk, melalui ruang tamu, menuju ruang keluarga. Aku melihat mama dan papa berdiri sambil menahan amarah masing-masing. Mereka berdua menoleh. Aku menelan ludah.

"Masuk sana! Anak gadis enggak tahu diri! Jam segini baru pulang!" seru ayah marah.

Aku terperangah. AKu tidak pernah dibentak dan dihina separah itu oleh ayah. Ayah bahkan tidak pernah memarahiku. Tapi kenapa sekarang jadi seperti ini?

Aku melirik mama yang hanya menatapku dalam diam. Entah apa yang dipikirkan beliau, aku tidak bisa menebaknya. Itu bukan tatapan marah, mama lebih seperti menatapku iba. Aku langsung naik menuju kamarku sebelum ayah kembali membentakku. Pikiranku langsung kacau. Apa yang terjadi pada mereka? Ini bukan pertama kalinya mereka bertengkar, dan ini juga bukan pertama kalinya memergoki mereka bertengkar. Tapi aku rasa ini adalah pertengkaran yang paling hebat. Papa tidak pernah membentakku seperti itu. Mengatakanku anak enggak tahu diri, papa sama sekali enggak pernah berkata menyakitkan seperti itu.

Akhir-akhir ini aku memang merasa ada yang berbeda dari mama dan papa. Mama selalu pulang dengan wajah kusut dan lesu. Dan itu terjadi setiap hari. Sedangkan papa, aku jarang melihat beliau di rumah. Tapi itu adalah hal normal mengingat papa memang orang yang sibuk.

Aku menatap diriku di depan cermin. Aku baru menyadari kalau ternyata aku sedang menangis.

***

"Nay!"

Aku tersentak kaget. Aku menoleh. Icha menatapku lekat-lekat.

"Apa?" tanyaku datar.

Icha menghela nafas.

"Kamu ini kenapa sih, Nay? Dari tadi pagi kamu udah lemes, terus kamu jadi hobi ngelamun. Ini udah kesekian kalinya kamu enggak mendengar ucapanku, Nayla. Kamu ada masalah? Sama Nolan?" tebak Icha.

Aku tersenyum tipis dan menggeleng. "Enggak aku enggak ada masalah sama Nolan kok," kataku meyakinkan.
"Terus kenapa?" tanya Icha lagi.

Aku menggeleng lagi. Aku menatap mangkuk baksoku yang masih utuh. Tiba-tiba pandanganku terasa kabur. Dadaku terasa sesak. Aku memejamkan mata. Tes! Aku bisa merasakan setetes air mata jatuh mengenai pipiku.

Kenapa aku menangis?

"Nay," panggil Icha.

Aku mengangkat kepala, menatap Icha. Icha menatapku iba.

"Kamu kenapa?"

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Aku mengusap air mataku.

"Cuma masalah keluarga biasa kok, Cha. Kamu enggak usah khawatir."

Icha menggeleng. "Aku tahu, Nay, kalau kamu nangis itu berarti masalahnya enggak biasa. Aku ini sahabatmu, Nay, aku bisa tahu kebohonganmu."

Aku tersenyum. Tuhan itu memang adil. Di samping Dia memberikan cobaan padaku, Dia juga mengirimkan seseorang yang membuatku bisa tenang. Aku akhirnya menceritakan masalah kemarin malam kepada Icha. Icha menyemangatiku.

"Tapi aku rasa itu cuma pertengkaran biasa, Cha. Akunya aja yang berlebihan."

"Semoga saja, Nay. Aku akan selalu berdoa semoga keluargamu baik-baik aja."

Aku mengangguk. Semoga itu benar.

***

Malam ini aku menemani Nolan seperti biasa. Sejenak, aku bisa melupakan masalah keluargaku. Nolan mengatakan kalau mamanya sudah mengijinkan dan sangat mendukungnya. Aku senang mendengarnya.

"Lo yang daftarin gue ya," kata Nolan.

"Hah?! Kok aku?!" protesku.

"Ya itu kan tugas lo, ngikutin semua perintah gue."

Aku melengos. Yah meskipun aku sangat ingin dia ikut, aku malas juga kalau berurusan dengan pendaftaran. Harus transferlah, atau datang ke sana, aku enggak punya waktu banyak untuk itu.

"Nanti saya aja yang daftarkan. Teman saya ada yang panitia lomba itu," kata Mr. San.

Aku tersenyum senang,

"Wah, makasih, Mister. Mister emang baik deh, enggak kayak muridnya," kataku sambil melirik Nolan.

Nolan mendelik padaku. "Apa lo bilang?! Enggak usah, Mr. San. Biar dia aja yang daftarin Nolan."

"Udah deh kamu diem aja! Sana latihan lagi!" kataku malas. Aku mengeluarkan novel yang tadi aku pinjam di perpustakaan.

Mr. San tertawa. "Kalian cocok deh."

Aku diam. Nolan juga diam. Enggak seperti kemarin-kemarin, kali ini tidak ada yang melakukan penolakan.

"Lanjut."

Nolan kembali berlatih. Aku selalu suka ketika melihat Nolan bermain piano. Itu adalah Nolan yang berbeda dari yang biasanya aku lihat. Seolah-olah yang aku lihat sekarang ini adalah sosok Nolan yang sebenarnya. Seperti biasa pukul tujuh malam, Nolan mengakhiri lesnya dan mengantarkanku pulang. Kali ini bayangan kejadian tadi malam kembali muncul. Apa mama sama papa bertengkar lagi di rumah?

"Lo kenapa?" tanya Nolan heran.

"Hah?!" tanyaku bingung.

"Lo dari tadi hela nafas panjang terus. Telinga gue gatal dengarnya," kata Nolan kesal.

Ah, itu kebiasaanku kalau takut. Aku selalu berusaha menenangkan diri tapi kemudian aku kembali gugup. Karena itu aku selalu menghela nafas panjang.

"Maaf," kataku pelan.

"Lo kenapa sih kok jadi aneh hari ini?"

"Oh iya?" tanyaku antusias. Tumben dia memperhatikan perubahanku.

"Enggak sih, dari dulu lo emang aneh," kata Nolan sambil tetap memperhatikan jalan.

Aku manyun. Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan rumah. Aku menelan ludah. Rumahku terkesan lebih menyeramkan malam ini. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang jadi terlihat menyeramkan.

"Itu rumah lo, bukan rumah hantu. Biasa aja lihatnya," celetuk Nolan.

Aku mendengus kesal.

"Iya, iya! Makasih!"

Aku langsung keluar dan tanpa berbalik lagi langsung masuk ke dalam rumah. Menyebalkan sekali dia. Aku berdiri di depan pintu rumah cukup lama. Aku memandang pintu kayu berukiran bunga itu dengan was-was. Semoga tidak ada yang terjadi.

PRANG!

Baru saja aku menyentuh gagang pintu, aku dikejutkan dengan suara benda pecah dari dalam. Suara itu sangat jelas, sepertinya terjadi di ruang tamu yang terhubung langsung dengan pintu utama ini. Jantungku berdetak kencang. Apa yang terjadi?

Belum sampai aku mendorong pintu, pintu sudah di buka dari dalam. Wajah papa yang terlihat marah muncul dari balik pintu. Beliau mendelik padaku.

"Jam segini baru pulang?! Kamu ini jangan jadi kayak mamamu, buat papa makin marah aja bisanya!" bentak papa.

Aku menundukkan kepala. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?

"Masuk!"

Tanpa diulang dua kali, aku langsung masuk. Berlari melewati ruang tamu yang terdengar isakan kecil mama di sana, melompati dua anak sekaligus saat menaiki tangga, dan membanting pintu kamar. Aku melemparkan diri ke kasur.

Kenapa bisa jadi seperti ini?!

Aku tidak bisa menahannya lagi, aku menangis. Menangis kencang.

***

Jangan lupa vote komennya ☺

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang