Sekarang semuanya berbeda. Rutinitas kehidupanku berubah 180°. Aku enggak bisa lagi menemani Nolan latihan, aku harus menemani mama di rumah. Satu minggu lebih, kondisi mama semakin menurun. Susah makan, sudah tidur. Sekali tidur, mama menggigau tentang papa, kadang juga nasibku. Aku hanya bisa tersenyum miris mendengarnya. Mama cuti kerja, aku yang menyarankan. Mama juga bilang, tabungan mama cukup banyak, mungkin bisa untuk satu atau dua tahun ke depan. Tapi tetap saja, memikirkan keadaanku yang jadi jungkir balik ini membuatku stress. Apalagi ditambah sebuah undangan dari pak pos yang tiba-tiba datang di hari Sabtu.
Dari gambarnya, aku tahu ini sebuah undangan pernikahan. Aku mengerutkan kening, siapa yang menikah? Mataku membelalak saat menatap nama pengantin laki-laki yang tertera.
"Apa-apaan ini?!"
Mataku terasa panas. Tanganku terkepal. Jantungku berdetak kencang, menahan marah. Aku tahu papa akan menikah lagi, tapi aku enggak percaya papa mengirimkan undangan resepsinya ke sini.
Ya Tuhan! Semudah itukah papa menyingkirkan mama?
Tubuhku langsung lemas. Sosok yang dulu kubanggakan benar-benar sudah hilang. Aku lupa bagaimana dulu aku bisa begitu mencintai seseorang yang kuanggap sebagai pahlawanku, rajaku, yang sekarang....aku enggak tahu lagi harus berkata apa.
Aku rindu papa.
Dengan langkah gontai, aku masuk ke dalam, meraih pemantik api dan kembali keluar. Dalam hitungan detik, undangan resepsi papa sudah terbakar.
***
Minggu, pukul satu siang. Mama sedang tidur di kamar, dan aku baru saja selesai membersihkan meja bekas makan siang. Aku melirik jam. Tepat sekarang, resepsi papa sedang berlangsung. Aku menghela nafas. Tadi malam aku berpikir sejenak, apa aku akan datang atau enggak. Tapi, aku berniat bukan datang sebagai tamu. Aku hanya sebentar, mengintip dari luar. Lagi pula aku juga enggak akan bisa masuk, mengingat undangan itu sudah berubah menjadi abu. Aku hanya penasaran seperti apa sih penampakan perempuan yang dinikahi papa sampai rela meninggalkan mama.
Dengan sedikit keraguan, aku akhirnya memutuskan untuk kesana. Tidak terlalu jauh, hanya 15 menit naik ojek kalau enggak macet. Aku menyambar jaket putih dan topi hitam. Aku harus menyamar, jaga-jaga kalau di sana ada saudara atau orang lain yang mengenaliku.
Dalam waktu setengah jam, aku sudah berangkat menuju gedung resepsi papa. Gedung itu besar, tapi aku rasa lebih kecil dari gedung resepsi papa dan mama dulu. Gimana aku bisa tahu? Mama selalu menunjukkan album pernikahan dan resepsinya padaku setiap kali ulang tahun pernikahan beliau dengan papa. Aku bahkan sampai hafal setiap letak vas bunga yang ada di sana.
Namun aku akui, resepsi kali ini bisa dibilang cukup mewah, apalagi untuk yang kedua kalinya. Aku berjalan menuju pinggir gedung, di mana tempat jendela-jendela besar terpasang. Aku mengintip dari sana.
Dari jendela ini, aku bisa melihat dengan jelas, sosok papa berada di panggung. Memakai jas hitam. Disamping berdiri seorang wanita dengan gaun merah marun. Keduanya terlihat bahagia, tersenyum, menyapa ramah tamu undangan yang naik ke atas panggung dan bersamalam dengan mereka. Aku menggigit bibir. Tanganku terkepal. Kalau aku enggak bisa menahan amarah ini lagi, bisa-bisa aku meninju jendela di depanku ini.
Aku tahu aku sudah mengatakan ini berulang kali, tapi...kenapa papa begitu mudah menyingkirkan mama?! Sudah 19 tahun! Aku ingin menangis rasanya kalau harus kembali membayangkan bagaimana kenanganku dan papa dulu.
"Eh, siapa Anda? Seorang detektif?"
Suara bass seseorang laki-laki dari samping mengagetkanku. Aku menoleh. Aku melihat remaja laki-laki, kira-kira seumuran denganku, menatapku heran. Dia memakai pakaian formal, jas hitam, celana hitam dan sepatu casual hitam.
"Wartawan muda? Sedang mencari berita? Memang pria tua itu seterkenal itu ya?"
Aku mengangkat alis. Cowok ini bicara apa sih? Muncul tiba-tiba dan bertanya hal yang enggak jelas sama sekali.
Kami bertatapan dengan wajah bingung sejenak. Wajahnya enggak terlalu ganteng, tapi bisa dibilang cukup manis. Ah, ngomong-ngomong, aku ini cewek jomblo ya, jadi kadang aku juga memperhatikan wajah remaja cowok asing.
"Oh!"
Laki-laki itu berseru.
"Lo anaknya pria tua itu?!"
Aku semakin menganga.
"Hah?!"
Aku semakin enggak ngerti. Pria tua? Anaknya?
"Wajah lo mirip sama ayah tiri gue..."
Aku menutup mulut, diam sejenak. Dalam hitungan detik, otakku langsung memberi sinyal. Aku ber-oh panjang, mulai paham dengan pertanyaan aneh cowok ini.
"Jadi kamu ini anaknya wanita itu?"
Cowok itu hanya menghela nafas. Dia mengangguk samar. Dia bersandar di tembok, di sebelah jendela.
"Gerah di dalam."
"Aku enggak tanya."
Cowok itu melirikku.
"Okey, gue tahu mungkin lo benci sama gue karena mama gue sudah merebut papa lo..."
"Aku enggak benci kamu," kataku memutus perkataannya.
Dia menatapku sejenak.
"Oke. Terserah kata lo apa, tapi yang jelas gue juga enggak setuju sama pernikahan ini."
Aku diam sejenak.
"Aku juga enggak tanya."
Cowok itu mengerutkan kening.
"Lo ini cewek asal mana sih? Planet Pluto? Kok nyebelin banget?!"
Aku menghela nafas. Pada kenyataannya, aku ini enggak suka orang yang SKSD (sok kenal sok dekat) kayak cowok satu ini. Belum kenalan udah nyerocos cerita kayak ember bocor. Biasanya sih orang kayak gini sudah aku tinggalin dari tadi. Tapi berhubung aku pikir aku akan menemukan sesuatu yang penting di sini, aku tetap bertahan.
"Mungkin karena kita belum kenalan ya..."
Oke, cowok itu jadi terlihat sedikit mengerikan, dia tahu pikiranku?
Dia mengulurkan tangan.
"Nama gue Zidane."
Aku melirik uluran tangannya. Kemudian menatap cowok itu sejenak. Akhirnya, aku membalas uluran tangannya.
"Nayla."
Cowok itu tersenyum.
"Gue pikir lo akan jawab enggak tanya lagi."
Aku hanya menampilkan wajah datar.
Ngomong-ngomong di banding cowok ini, Nolan jauh lebih baik.
-----
Jangan lupa vote dan komennya ☺☺☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...