[31] Nolan

7.9K 751 12
                                    

Gue menepikan mobil, menghela nafas panjang. Gue berusaha meredakan emosi yang datang tiba-tiba saat gue enggak sengaja melihat cowok enggak dikenal itu bersama Nayla. Gue mengusap wajah. Apa yang baru aja gue lakukan?! Gue nyaris menabrak anak orang, dan itu dengan sengaja!

Gue baru saja pulang dari rumah Alan ketika tiba-tiba di tengah perjalanan, gue tanpa sengaja melihat Nayla bersama cowok di trotoar dan mereka terlihat akrab. Saat itu juga entah kenapa, gue tiba-tiba langsung emosi. Tepat ketika cowok itu ingin menyeberang, gue langsung menekan gas penuh. Dari spion gue lihat, Nayla spontan menarik tangan cowok itu mundur. Kalau Nayla enggak menariknya, gue yakin cowok itu enggak akan baik-baik saja. Perasaan gue semakin panas. Gue langsung menepikan mobil, sebelum gue melakukan hal-hal yang lebih nyeleneh lagi. Gue sadar kalau gue nyetir sambil emosi, keadaannya pasti kacau.

Cowok itu siapa sih? Sejak kapan gue tahu ada cowok yang deket sama Nayla? Nayla orang yang terbuka, yang terakhir kali gue tahu dia sama Radit. Apa di punya yang baru? Gue enggak pernah lihat cowok itu sebelumnya. Anak sekolah? Gue yakin bukan. Anak di lesan gue? Gue yakin juga bukan. Sekali pun gue enggak kenal teman-teman gue di sekolah atau di tempat lesan, gue enggak asing dengan wajah-wajah mereka. Tapi cowok yang tadi itu bener-bener asing dimata gue.

Huft! Dan terlebih lagi, kenapa gue jadi mikirin ini sih?!

***

Senin.

Pagi ini seperti biasa, gue sudah melihat Nayla di depan gerbang sekolah.Gue jadi ingat kejadian siang itu. Sampai sekarang gue masih penasaran, siapa sih cowok yang waktu itu bersamanya?

"Pagi, Nolan!" sapanya.

Gue hanya meliriknya, kemudian langsung berjalan melewatinya. Kalau ingat kejadian itu lagi, kenapa hati gue jadi kesal?

"Nolan!" panggil Nayla.

Gue mengabaikannya. Nayla berusaha menjajarkan langkahnya dengan gue.

"Pagi, pagi, udah cemberut aja sih. Tumben nih, enggak mau dibantuin?"

Gue berhenti, menghela nafas. Nayla ikut berenti, menatap gue sambil tersenyum jahil. Astaga! Apa dia enggak tau gue ini lagi badmood gara-gara dia?

"Cowok yang kemaren itu siapa?"

Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut gue. Setelah dari tadi gue berusah payah untuk enggak bertanya pertanyaan enggak penting itu, akhirnya keluar juga.

Nayla menatap gue bingung. "Cowok yang mana?"

Gue meliriknya, dia ini beneran lupa atau cuma sok-sokan lupa?

"Oh cowok itu!" Nayla berseru. "Dia itu temen baruku."

Gue mengangkat alis. "Temen baru lo? Sejak kapan?"

"Sejak Minggu kemarin," jawabannya santai.

"Kok bisa?"

Nayla menghela nafas. "Dia anak tirinya papaku."

Gue mendelik. Apa?! Gue enggak salah dengar, kan? Anak tirinya papanya? Berarti papanya sudah nikah lagi?

"Kemaren yang digedung itu acaranya..." pertakaanku tertahan.

Nayla mengangguk. "Iya acara resepsi pernikahan papa sama istrinya yang baru. Waktu aku ke sana, aku ketemu dia. Namanya Zidan. Lebih tua dua tahun dariku. Orangnya lumayan cerewet sih, tapi waktu aku kenal dia lebih jauh ternyata dia baik banget."

Gue menatap Nayla yang sedang tersenyum. Orang yang baik?

Nayla menoleh pada gue. Tatapannya berubah tajam.

"Oh aku baru ingat. Kamu yang kemaren mau nabrak Zidan, kan? Aku ingat jelas kalau yang mau nabrak itu mobilmu!"

Gue hanya diam. Kemudian tanpa mengatakan apa pun, gue langsung pergi.

"Hei, Nolan! Jawab aku!"

Gue mengabaikan teriakan Nayla yang terus memanggil gue. Orang yang baik itu memangnya kayak gimana?

***

"Orang baik?"

Gue mengangguk. Alan mengerutkan kening.

"Kenapa? Kok lo tiba-tiba tanya gitu?"

Gue terdiam. "Menurut lo gue orang yang baik?"

"Hah?! Lo ngomong apaan sih?"

Gue menatap Alan datar. Alan menghela nafas.

"Nah, gue tahu nih. Kayaknya ada sesuatu ya antara lo sama Nayla. Iya, kan?"

Gue hanya diam. Alan tersenyum kecut.

"Akhirnya lo sadar juga kalau lo itu emang jahat."

"Gue, jahat?"

Alan mengedikkan bahu. "Gue enggak tahu, kenapa lo enggak tanya sendiri aja ke Nayla?"

Gue menggeleng. Gue enggak bisa menanyakan hal kayak gini padanya. Ini enggak penting baginya. Lagi pula kalau gue tanya, dia pasti bingung kenapa gue jadi tanya hal enggak jelas ini.

"Kenapa? Lo malu ngakuin perasaan lo ke Nayla?"

"Hah? Perasaan? Perasaan apa?"

Alan memutar bola mata. "Yaelah, enakan ngomong sama tembok daripada sama lo! Enggak usah sok-sokan gitu deh!"

"Gue enggak punya perasaan apa-apa."

Alan menjitak kepala gue.

"Eh lo enggak inget selama ini yang selalu lo ceritain ke gue tentang apa? Nayla itu...Nayla kemaren...Nayla...Nayla... waktu itu lo juga sudah mulai yakin sama perasaan lo sendiri ke Nayla. Sekarang lo ragu lagi? Kenapa? Lo takut kalau suka sama Nayla menurunkan kekerenan lo? Lo...."

"SSSH!!"

Gue menutup paksa mulut Alan. Berisik. Sekarang buat gue makin pusing aja.

"Oke! Oke! Bukan itu alasan kenapa gue enggak mau suka sama Nayla!"

Gue menghela nafas.

"Gue sebenarnya takut punya hubungan spesial dengan cewek. Gue takut buat dia nangis, gue takut enggak pernah selalu ada untuknya, gue takut gue menyakitinya. Dan gue takut kehilangan. Itu jadi hubungan yang merepotkan."

Alasan kenapa gue selalu menepis perasaan gue ke Nayla adalah itu. Dan hari ini mataku semakin terbuka, bahwa kehilangan sosok Nayla itu menjadi hal yang sangat mungkin. Gue bukan orang yang baik, gue selalu membuat dia susah, gue pernah terlihat lemah sekali dihadapannya, buat apa Nayla memilih gue?

"Gue tanya untuk yang terakhir kalinya," Alan menatap gue serius. "Lo suka sama Nayla?"

Gue diam, menatap wajah serius Alan. Gue memejamkan mata.

Gue...mengangguk.

"Iya." 

___

Jangan lupa vote dan komennya ☺☺☺

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang