Gue memindahkan mobil di seberang rumah Nayla. Gue sengaja enggak pulang dulu, karena gue benar-benar merasa ada yang aneh dengan cewek itu. Gue perhatikan hari ini dia lebih sering melamun dan yah gue merasa ada yang aneh saja dari dia. Dia jadi lebih pendiam. Apalagi yang terakhir kali tadi, gue enggak sengaja melihat ekspresinya sebelum turun. Dia lihat rumahnya sendiri seperti melihat rumah angker yang banyak 'penghuninya'. Jangan-jangan memang di rumahnya itu banyak 'penghuhinya'.
Gue membuka jendela di kursi penumpang di depan supaya gue bisa lebih jelas melihat kediaman Nayla. Cewek itu masih berdiri di sana. Dengan tatapan kengerian yang sama kayak tadi, dia menatap pintu rumahnya. Gue bingung, sebenarnya ada apa sih? Hari-hari kemarin dia biasa aja. Gue kaget saat samar-samar gue mendengar suara benda pecah dari dalam rumah Nayla. Cewek itu juga tersentak kaget. Suara itu lumayan terdengar karena jalanan di sini enggak besar dan sepi. Gue berkerut, firasat gue jadi enggak enak. Dia menyentuh gagang pintu, tapi bersamaan dengan itu gue melihat pintunya sudah dibuka dari dalam. Gue kembali terkejut saat melihat wajah marah seorang laki-laki yang muncul dari balik pintu.
Itu ayahnya?
"Jam segini baru pulang?! Kamu ini jangan jadi kayak mamamu, buat papa makin marah saja bisanya!"
Gue tersentak kaget mendengar bentakan laki-laki itu. Apa?! Gue enggak tahu kalau ternyata Nayla dimarahin papanya. Sudah berapa kali dia dibentak kayak gitu? Selama ini gue lihat dia selalu santai dan biasa aja kalau pulang malam. Bahkan suatu hari gue pernah molor sampai jam setengah sembilan, cewek itu biasa aja. Tapi tunggu! Kalau gue enggak salah denger, ayahnya tadi membahas mamanya juga.
Kamu ini jangan jadi kayak mamamu, buat papa makin marah saja bisanya.
Iya, gue yakin kalau gue enggak salah denger. Gue rasa ada sesuatu pada keluarganya. Nayla hanya bisa menundukkan kepalanya saat itu. Gue enggak tahu apa yang terjadi padanya, tapi gue yakin dia enggak baik-baik aja.
"Masuk!"
Gue menelan ludah mendengar bentakan ayahnya yang semakin keras. Seumur-umur gue enggak pernah dibentak ayah gue waktu beliau masih hidup. Gue pernah dimarahin, tapi gue enggak pernah dibentak sekeras itu.
Gue lihat, Nayla langsung berlari masuk. Kemudian ayahnya juga masuk dan membanting pintu rumahnya. Gue mendekatkan kepala ke jendela dan mendongak ke atas. Jendela yang diatas itu gelap. Tapi tak lama kemudian menjadi terang, seseorang baru saja menyalakan lampunya dan gue tahu itu pasti kamar Nayla.
Perasaan gue mendadak enggak enak. Apa yang terjadi dengannya? Dia pasti enggak baik-baik aja. Enggak ada orang yang baik-baik aja setelah dibentak keras seperti itu oleh ayahnya sendiri, apalagi dia perempuan. Gue yakin seratus persen, cewek itu sedang menangis di sana. Andai aja gue punya hp, gue bisa meneleponnya dan menanyakan apa yang baru aja terjadi. Tapi mungkin dia pasti akan berkata dia baik-baik saja. Dia memang cewek aneh.
***
Dia enggak baik-baik aja.
Pagi ini gue lihat dia nungguin di depan gerbang sekolah dengan wajah kusut dan mata bengkak. Tapi begitu gue datang, dia tersenyum.
"Yo, Nolan! Hari ini kamu enggak bawa banyak barang, kan?" tanya Nayla riang.
Gue memang sengaja enggak bawa banyak barang. Setelah ngelihat kejadian malam itu, gue enggak mungkin semakin membuat dia drop. Nayla berniat mengambil tas gue, tapi gue langsung menepis tangannya pelan.
"Enggak usah, gue bawa sendiri aja," kata gue langsung berjalan melewatinya.
"Kenapa? Kok tumben?" tanya Nayla heran. Dia berusaha menyejajarkan langkahnya dengan gue.
"Ada rahasianya, gue takut lo buka nanti," kata gue beralasan.
Nayla menyenggol gue sambil tersenyum jahil. "Hayo, jangan-jangan kamu bawa gitu ya..."
Gue meliriknya. Begitu dia masih bisa bercanda?!
"Apaan sih?! Enggaklah! Lo pikir gue senakal itu."
Nayla terkekeh. "Bercanda lagi."
Gue menghela nafas.
"Mata lo kenapa?"
Pertanyaan yang dari tadi mengganjal akhirnya gue lontarkan juga. Dari tadi mulut gue gatal mau nanya itu terus.
"Hah, kenapa?"
"Kelihatan bengkak."
"Oh kelihatan banget ya? Iya nih jadi tadi aku naik ojek, kan, terus ternyata ojeknya mogok, jadi aku ke sekolah jalan kaki, untung udah deket. Nah, waktu jalan itu anginnya kencang, aku kelilipan, jadi mataku gatal. Trus aku garuk-garuk, makanya jadi makin parah kayak gini."
Gue tersenyum miring. Sumpah! Gue kasih nilah 90 buat aktingnya. Tapi kalau cerita karangannya itu menurutku gue enggak banget. Enggak ada yang lebih menarik apa? Mungkin guru bindonya juga berpikir sama kayak gue.
Gue berhenti. Nayla juga ikut berhenti. Gue menatapnya. Wajahnya yang polos itu balas menatap gue. Tiba-tiba, data gue merasa sesak.
"Kenapa?" tanyanya bingung.
"Lo tahu enggak sih kalau lo cerewet? Emang enggak bisa kalau lo singkat?"
Nayla bergumam. "Oke, jadi mataku kelilipan trus..."
Gue membungkam ucapannya dengan menarik kedua pipinya.
"Udah. Cerita karangan lo jelek."
Setelah itu gue langsung pergi. Gue enggak mau mendengarkan itu lagi, dia sengaja menyembunyikannya. Memangnya kenapa dia enggak mau cerita? Gue bahkan sudah menceritakan tentang ayah gue padanya, tapi kenapa dia enggak mau cerita masalahnya ke gue?
Apa gue ini enggak penting?
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...