Aku menatap layar ponselku. Sebuah pesan line masuk dari Zidan.
Sore ini lo bisa ke sini buat wawancara. Lo pulang jam berapa?
Aku mengetik balasannya. Oke. Jam empat.
Enggak lama setelah itu, datang balsan Zidan.
Gue jemput lo aja. Biar lo tahu jalan ke restoran di mana. Gimana?
Aku mendelik. Dijemput? Hmm...Aku enggak mungkin bareng Nolan ke restoran itu. Jelas enggak mungkin. Aku belum menceritakan rencanaku ini pada siapa pun, temasuk Icha. Aku pikir kalau aku cerita, Icha pasti enggak akan mengijinkan. Kalau aku bilang ke Nolan, aku rasa itu bukan ide yang bagus. Apa aku bilang iya aja ya?
Aku menatap kembali balasan Zidan. Oke, aku akan putuskan.
Enggak apa sih, tapi yakin enggak ngerepotin?
Balasan Zidan masuk enggak sampai satu menit.
Enggaklah. Tapi jangan pikir ini gratis ya :D
Aku tertawa kecil membaca balasannya. Dasar Zidan!
Enggak, enggak, gue cuma bercanda. Lo sekolah di mana?
Aku mengetik nama sekolahku dan alamatnya.
"HOI!"
Spontan, aku langsung menutup aplikasi line dan tanpa sengaja membanting ponselku ke meja. Aku meringis. Icha menatapku heran.
"Kenapa?"
Aku menggeleng. Aduh! Semoga Icha enggak lihat chatting-ku dengan Zidan. Icha duduk dihadapanku sambil memakan snack rotinya. Aku tersenyum gugup. Icha melirikku.
"Kamu kenapa sih?"
"Hah? Aku kenapa?" tanyaku balik.
"Wajahmu itu kayak takut sesuatu. Eh iya, ngomong-ngomong, hubunganmu sama Nolan gimana?" tanya Icha.
Aku menghela nafas lega. Ternyata Icha sama sekali enggak melihatnya. Bagus deh.
"Enggak gimana-gimana," jawabku santai.
Icha menaikkan alis. "Tadi pagi aku lihat kamu sama Nolan ngomong sesuatu di lapangan upacara. Kelihatannya Nolan kayak kesal gitu, kalian ada masalah?"
Aku terdiam sejenak, mengingat kejadian tadi pagi. Tadi pagi sikap Nolan memang mendadak berubah. Jadi lebih dingin dan galak lagi. Padahal biasanya kalau aku menyapa dia, setidaknya dia tersenyum jahil sambil mengejekku sesuatu yang aneh. Tapi pagi ini, dia hanya melewatiku. Sekilas memandangku sinis. Aku agak kaget pagi itu ketika Nolan mengabaikanku. Dan aku lebih kaget lagi waktu dia bertanya soal Zidan. Apalagi saat aku menyalahkannya gara-gara hampir menabrak Zidan hari Minggu kemarin, Nolan malah meninggalkanku dengan wajah yang benar-benar kesal. Apa aku salah?
"Hei!" Icha menjentikkan jarinya, membuyarkan lamunanku.
Aku menatap Icha.
"Ada masalah ya?"
Aku menghela nafas. "Aku juga enggak tahu. Mungkin dia lagi badmood, jadinya kayak tadi."
Icha mengangguk-anggukan kepala. "Yah, yang sabar aja ya, Nay."
Aku hanya tersenyum. Semoga saja Nolan memang hanya sedang badmood.
***
"Aku pulang duluan ya, Nay!" seru Icha sambil melambaikan tangan.
Aku membalas lambaian tangannya. "Hati-hati, Cha!"
Icha sudah pulang, aku enggak perlu takut ketahuan Icha soal Zidan. Sebenarnya bukan Zidan yang menjadi masalah, tapi tujuanku sore ini. Walaupun aku tahu cepat atau lambat Icha pasti juga akan tahu, tapi aku ingin membuktikan kalau aku sebenarnya bisa. Aku menatap ponselku. Zidan bilang lima menit lagi dia sampai. Aku menunggunya di gerbang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...