[20] Nayla

9.2K 771 3
                                    

Aku berlari kecil menyusuri koridor kelas sebelas. Langkahku terhenti saat tanpa sengaja aku melihat sesuatu yang menarik di madding perlombaan. Aku mundur beberapa langkah dan berhenti tepat di depan madding yang berisi dengan berbagai macam perlombaan. Mataku tertuju pada poster besar yang berisi tentang perlombaan bermain musik. Mataku berbinar saat melihat deretan alat musik yang dilombakan salah satunya adalah piano. Aku langsung meraih ponselku dan memfoto poster itu. Ini adalah kesempatan emas bagi Nolan.

"ENGGAK!" seru Nolan ketus saat aku memberitahukan perlombaan tersebut padanya.

Aku kaget. Ketus sekali dia menolaknya.

"Kenapa? Ini kesempatan emas buat kamu ngebuktiin kalau kamu emang bisa."

"Iya kalau menang, kalau kalah, gue bisa di caci habis-habisan."

"Kalau kamu menang, kamu bisa bebas mau jadi pianis, kan? Kakekmu enggak akan maksa kamu lagi," balasku.

"Tapi kalau gue kalah.."

"Ya makanya jangan pikir kamu bakal kalah!" kataku gemas.

Nolan diam. Itu benar, kan? Kalau orang-orang berpikir pada awalnya sudah kalah, pasti akhirnya dia kalah juga. Tapi kalau orang itu berpikir dia akan menang, dia pasti melakukan usaha sekeras mungkin dan kemungkinan menang itu masih ada.

"Ayolah, kamu udah lama latihan di ruangan ini, masa kamu enggak mau keluar-keluar?" tanyaku lagi.

Nolan masih diam. Sepertinya dia mulai berubah pikiran.

"Orang-orang yang sukses enggak pernah berpikir kalau nanti apa yang dia lakukan ternyata gagal dia akan dicaci. Tapi mereka berpikir bagaiamana mereka harus menunjukkan kepada orang-orang yang meremehkannya kalau mereka itu bisa!"

"Tapi.."

"Aku pernah baca dari Merry Riana, kalau kita bekerja keras dengan cara, niat, dan tekad yang baik, kita bisa meraih mimpi. Kamu enggak pernah dengar, ya?"

Pokoknya sampai dia masih megatakan 'tapi' dan sejenisnya yang melakukan penolakan pada ideku ini aku akan berusaha untuk meyakinkannya.

"Nay..."

"Coba tanya Mr. San?! Iya kan, Mister?!"

Aku menoleh kepada guru les Nolan yang dari tadi hanya tersenyum menatap perdebatan kami. Hanya ini andalan terkahirku. Aku sengaja memberitahukan perlombaan ini waktu dia les supaya gurunya bisa membantuku. Kalau Nolan memang enggak mau mendengarkanku, mungkin dia masih mau dengar dari gurunya.

Mr. San bangkit dan berjalan mendekat.

"Temanmu itu benar, Nolan. Apa salahnya kalau mencoba? Lagi pula tingkat perlombaannnya enggak tinggi, cocok buat kamu yang baru pertama kali ikut lomba."

Nolan kembali diam.

"Saya bisa mengajarkan kamu sampai kamu benar-benar ahli. Begini-begini saya sudah pernah mengantarkan murid saya yang menang lomba di tingkat nasional loh," tambah Mr. San.

Aku mengangguk semangat. "Nah! Lihat kan Mr. San aja juga setuju. Jadi gimana?" tanyaku lagi.

Nolan terlihat berpikir. Dia menatap ponselku sekali lagi. Dia menghela nafas panjang.

"Oke..."

"YES!"

"Tapi..."

Masih ada tapinya?!

"Gue ikut kalau dijinin mama."

Aku tersenyum. Kalau yang itu masih bisa ditolerir. Lagi pula aku yakin mamanya pasti setuju.

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang