"Gue suka lo."
Gue enggak ngerti kenapa tiba-tiba gue mengatakan seperti itu. Padahal selama ini gue bertekad untuk tetap menyimpannya dalam-dalam. Gue enggak mau mengatakan itu ke Nayla, tapi bodohnya mulut gue tiba-tiba mengatakan itu sendiri.
Tapi sejak tadi, mulut gue emang sudah gatal buat ngomong ke dia. Sejak dia menyambut gue dan mengatakan kalau gue adalah teman yang paling baik, gue berharap bahwa masih ada kesempatan untuk gue lebih dari sekedar teman. Bukan hanya sebagai sahabat.
Karena gue sungguhan menyukainya.
Dulu, gue enggak pernah percaya tentang cinta pada pandangan pertama. Tapi waktu itu, saat pertama kali gue melihat Nayla di pernikahan mama, gadis itu membuat gue tertarik. Karena itu, gue beranikan diri untuk menghampirinya dan mengajaknya bercerita. Waku itu, gue tahu dia kesal melihat kehadiran gue yang tiba-tiba jadi orang sok kenal, tapi enggak tahu kenapa gue tetap berada di sana dan mengajaknya bicara macam-macam. Padahal, sejujurnya, gue bukan orang yang mudah bergaul, apalagi sama cewek. Di SMA dan kampus, gue sama sekali enggak pernah deket sama cewek. Gue jarang ngobrol bareng cewek. Gue enggak pernah nembak cewek, gue pernahnya ditembak cewek. Tapi Nayla, punya sesuatu yang membuat gue tertarik. Sampai akhirnya gue mengenalnya lebih dekat, dan perasaan itu jadi tumbuh.
Tapi gue tahu Nayla sudah suka sama orang lain. Nayla memang enggak pernah mengakui ke gue kalau dia suka dengan seseorang, tapi gua tahu karena cewek itu mudah dibaca kalau sedang jatuh cinta. Nayla selalu menceritakan cowok itu di tempat kerja, apalagi kemarin ketika cowok yang dia suka ternyata sudah sama cewek lain. Jujur saat itu gue sedikit bersyukur, mungkin gue akhirnya punya harapan. Tapi melihat Nayla yang menangis, gue jadi enggak tega. Nayla menyukainya, sangat menyukainya. Seharusnya gue enggak boleh bahagia kan melihatnya menderita seperti itu. Kadang, suka itu bisa menjadi perasaan yang egois.
Nayla menatap gue sejenak, kemudian tertawa. "Kamu bercanda, kan?!"
Gue manatapnya serius.
Nayla menatap gue tak percaya.
"Zidan, kamu bohong, kan?!" tanya Nayla panik.
Gue menghela nafas panjang. Dari tingkahnya yang seperti ini, gue sudah tahu apa yang dia maksudkan.
"Tapi, aku...Aku.."
Gue tersenyum. Kemudian tertawa. Nayla menatap gue bingung.
"Gimana ekspresi gue? Udah meyakinkan?"
"Hah?"
Gue melipat tangan ddan tersenyum angkuh. "Kayaknya gue cocok jadi artis ya, lo sampe nganggap gue serius gitu..."
Nayla diam sejenak, kemudian mendelik. Sedetik kemudian, dia langsung menyerang gue dengan berbagai pukulan brutal. Gue menjerit.
"EH APAAN SIH?! SAKIT!"
"NYEBELIN BANGET SIH, ZIDAN! AKU PIKIR SERIUS!" jerit Nayla kesal.
Gue terkekeh. "Gue lagi latihan, gue mau nembak cewek loh..." kata gue setengah berbisik.
"Eh seriusan?! Udah tembak aja! Wajahmu tadi udah meyakinkan seratus persen!"
Gue tersenyum.
"Kalau lo udah jadian, kenalin sama aku ya. Aku mau tahu aib-aibmu semua," tambah Nayla.
Gue mengacak-acak rambutnya. "Dasar!"
Gue berniat kembali ke ruang kerja papa Nayla alias ayah tiri gue, tapi Nayla memanggil gue.
"Mau ke mana?" tanya Nayla.
"Ambil barang yang ketinggalan," jawab gue tanpa menoleh.
Sampai di ruang kerja ayah, gue langsung mengehela nafas panjang. Dada gue sesak, karena itu gue segera pergi. Kenapa gue akhirnya gue mengatakan kalau gue enggak serius? Karena gue enggak mau hubungan gue dan Nayla setelah itu jadi renggang. Gue enggak mau kalau nanti Nayla malah jaga jarak. Gue enggak mau kalau nanti Nayla enggak mau sama ketemu gue lagi.
Gue bersandar di pintu.
"Eh seriusan?! Udah tembak aja! Wajahmu tadi udah meyakinkan seratus persen!"
Gue tersenyum menyedihkan.
"Udah gue tembak ceweknya, Nayla. Tapi dia enggak menyukaiku."
Gue meraih ponsel dan menelepon seseorang.
"Halo, Zidan, ada apa?" suara Pak Adam menyapa dari sana.
"Pak, nanti saya kerja ya..."
"Loh, kenapa? Kamu enggak ada kerjaan?"
"Iya, Pak. Saya nganggur hari ini. Saya mau kerja aja. Boleh, kan, Pak?"
"Hmm... yasudah. Tapi saya cuma bisa bayar setengah hari kalau kamu masuk di waktu hari libur."
Gue tersenyum. "Enggak apa, Pak. Enggak dibayar untuk hari ini juga enggak apa."
"Memangnya kenapa, Zidan, kok tiba-tiba begini?"
Gue terdiam sejenak. Enggak mungkin kalau alasan gue mau kerja karena gue lagi patah hati. Bisa-bisa Pak Adam ngeledekin gue seharian nanti pas kerja. Pak Adam emang dekat sama karyawan-karyawan di restoran. Bukan hanya sebatas atasan dan bawahan, tapi Pak Adam sudah menganggap kami keluarganya.
"Saya lagi pikiran aja, Pak. Pengin dihilangkan dengan kesibukan."
"Oh gitu, gitu. Yaudah, Zidan. Kalau ada apa-apa bilang saja ke saya."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Sambungan terputus. Gue menghela nafas lega. Setidaknya gue bisa melupakan perasaan menyakitkan ini sebentar. Walaupun gue enggak tahu selanjutnya akan jadi seperti apa nanti.
_____
Jangan lupa vote komennya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Payment
Teen FictionKalau jadi upik abu besoknya jadi cinderella, aku sih enggak masalah. Tapi kalau jadi upik abu cucu pemilik sekolah yang dinginnya melebihi kutub utara...MANA TAHAN! Aku tanpa sengaja merusakkan ponsel milik cucu pemilik sekolah dan aku harus mem...