[38] Nolan

8K 768 17
                                    

"APA?! LO GILA?!"

Gue berdecak kesal. Baru saja gue menceritakan ke Alan soal kejadian yang seharusnya enggak terjadi sore ini. Gue sama sekali enggak berniat melakukan itu ke Thalia, apalagi menunjukkannya ke Nayla. Otak gue masih waras. Sama sekali enggak mungkin gue melakukan hal itu. Niat gue mau bicara ke dia pulang sekolah itu sebenarnya juga karena gue ingin jujur. Setelah gue pikir-pikir, apalagi setelah Nayla mengejek gue mentah-mentah, lebih baik gue jujur aja. Tapi rencana gue gagal total. Sekarang keadaannya malah jadi lebih buruk. Ini semua gara-gara cewek kecentilan satu itu. Kalau gue udah enggak punya perasaan lagi, udah gue tendang si Thalia itu. Andaikan Tuhan memberikan gue satu permintaan sekarang, tanpa berpikir dua kali, gue akan minta untuk mengganti bibir gue.

"Yang gila bukan gue! Tapi Thalia itu!!"

Alan melempat bantal kecil pada gue.

"Ya lo bego juga! Udah tahu Thalia cewek kayak gimana, kalian berdua aja di kelas, lo udah denger rayuan Thalia, kok lo masih diem di kelas juga?!"

Gue diam. Itu benar. Dari kelas mulai sepi, Thalia sudah ngajak ngomong gue macam-macam. Meskipun gue dengar, tapi otak gue enggak bisa mencerna perkataan Thalia. Gara-gara, untuk pertama kalinya dalam seumur hidup gue, gue benar-benar gugup setengah mati mau ketemu cewek. Jadi gue enggak bisa fokus dan waktu itu gue hanya sibuk menenangkan diri. Kemudian tiba-tiba Thalia bilang suka pada gue, bodohnya karena gue menoleh, tiba-tiba bibirnya itu menyentuh bibirku. Gue enggak mau bilang itu sebagai 'ciuman' karena memang bukan seperti itu yang gue harapkan.

"Tapi, Bro, lo bisa ambil sisi postifinya dari sini."

"Hah?!"

"Lo lihat, kan, reaksi Nayla tadi kayaknya gimana?"

Gue bergumam.

"Gue pernah lihat sebuah kata bijak intinya wanita itu bisa menyembunyikan cinta selama 40 tahun, tapi mereka enggak bisa menyembunyikan cemburu walau sesaat."

Gue mengangkat alis. "Trus maksud lo Nayla suka gue gitu."

Alan mengedikkan bahu. "Jangan ke-PD-an lo, gue enggak bilang gitu."

Gue balas melemparkan batal pada Alan.

"Dasar! Gue pikir lo itu sebenarnya mau ngasih gue pencerahan atau apa."

Alan terkekeh. "Otak lo di mana sih? Gue ngomong kata bijak itu beneran! Lo bisa mikir sendiri, kan, maksud gue gimana?"

Gue kembali terdiam. Memang gue bisa lihat kalau tadi Nayla marah. Marah tapi marah yang kecewa. Sekilas gue bisa lihat matanya berkaca-kaca. Apa dia cemburu?

Tiba-tiba seseorang mengetuk kamar gue. Mama muncul dari balik pintu.

"Nolan, ada kakekmu. Lebih baik kamu cepat turun, beliau nyariin kamu."

Gue mendelik. KAKEK?!

"Iya, Ma. Nolan sebentar lagi turun."

Mama mengangguk. Beliau keluar kembali. Gue menatap Alan heran.

"Kakek gue ngapain ke sini?"

"Kok lo tanya gue sih. Yang punya kakek siapa juga. Udah lo cepet turun sana, gue mau ngacak-ngacak kamar lo."

Gue manatap Alan datar. Gue tahu Alan hobinya emang ngacak-ngacak kamar gue. Tapi gue juga tahu kalau Alan orangnya bertanggung jawab, biasanya dia merapikan lagi meskipun tempatnya jadi kepindah-pindah. Pernah suatu saat, waktu itu Senin dan Minggunya Alan ke rumah gue. Gue kebingungan gara-gara gue enggak menemukan seragam gue di lemari pakaian. Setelah gue cari ke mana-mana, ternyata seragam itu ada di dalam lemari meja belajar, dan gue enggak kaget siapa yang udah mindah seragam itu di sana.

Broken PaymentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang