"Renata, lu mau jadi pacar gua?" sepertinya aku ada rasa dengannya jadi lebih baik aku mengutarakannya saja pada Renata.
"Iya, Reyn." Balas Renata.
Bagus!
Entah mengapa aku merasa aku adalah cowok terganteng dan the best di dunia.Semua perempuan tidak ada yang bisa menolakku! Renata pacarku yang ke...tunggu...oh 21! Pacarku selama hidupku sudah 21.
Entah apa yang membuat mereka menyukaiku. Mungkin karena aku yang tampan, cerdas, atletis, atau kaya?
Aku tak peduli. Dengan itu semua yang penting aku bisa mudah mendapatkan perempuan. Bagiku perempuan hanyalah pendamping. Tak lebih. Seperti ayah yang menikahi ibuku. Bagiku, cinta hanya sementara. Tak akan bertahan lama. Rasa sayang itu hanya muncul di awal-awal saja. Namun, aku tidak bisa menampik bukti bahwa cinta itu bisa bertahan selama sekian tahun. Seperti yang Sarah lakukan padaku. Mencintaiku sampai sekarang walaupun waktu sudah berlalu dengan cepat.
Aku kira aku sudah melupakan Sarah. Kepolosannya saat itu masih terngiang di pikiranku.
Apakah aku jatuh cinta lagi padanya? Apakah selama ini aku masih menginginkannya? Sarah sebagai cinta pertamaku? Apakah aku harus selamanya menanggung ini semua? Aku pikir seolah aku tidak bertanggung jawab atas segala yang aku dan ayahku lakukan atas ayahnya. Tapi mengapa setiap kali aku melihatnya, rasa benci itu mengalir begitu saja? Dan dapat mengalahkan rasa yang sudah kupendam padanya selama ini?
Bodoh memang, tapi aku rasa mendiamkannya pilihan terbaik.
~~~
Hari ini aku diantar pagi pagi sekali dengan ayahku. Karena ayahku akan ke Hong Kong untuk urusan bisnisnya. "Setidaknya ayah bisa mengantarmu hari ini..." katanya di mobil kami.
Di sekolah aku sudah melihat Renata. Renata ternyata selalu datang pagi. Beda denganku. Masih belum ada siapa-siapa di kelas kecuali kami berdua.
Oke ini saat yang cukup canggung. Kami menatap satu sama lain. Mata Renata tampak berkilat, heran mungkin bertanya mengapa aku tidak memulai pembicaraan ini duluan.
"Kenapa?" Tanyaku, masih situasi canggung. Oke, bagiku ini sudah biasa. Aku sudah biasa memulai segala sesuatu dengan canggung. Lalu pastinya semuanya akan berjalan seperti biasa.
Tapi anehnya aku dan Renata masih terus menatap dalam hening. Tidak ada yang mau berbicara, atau memulai pembicaraan apapun.
"Okey, kita udah dieman selama 6 menit. Aku tahu kamu pasti ada yang mau diomongin..."
Hmmm... she knows. Dia tahu aku canggung."Gak, aku cuma ngerasa kayaknya kita canggung gitu. Gimana kalo kita ke depan kelas aja. Nanti disangkanya kita mesum atau apa lagi hehehe..." kataku.
"Oke, boleh." Jawabnya, datar.
Entah darimana satu angkatan tahu bahwa aku dan Renata sudah resmi berpacaran. Saat kami jalan sambil bergandengan tangan semuanya mengucapkan selamat kepada kami dan berharap supaya kami long-last.
"Longlast, coeg" kata Sean, sahabat terbaikku. Sepertinya aku hanya memberitahu Sean saja. Mungkin Renata sudah mengabarkan ke semua orang bahwa aku sudah resmi dengannya."Eh, dicariin tuh. Lu udah gak maen basket dari kita masuk Sma. Mending dateng, bro eskulnya. Siapa tahu aja lu masuk inti..." kata Sean. Aku menatapnya seperti batu. Memang seperti itu aku. Tandanya adalah aku sedang tidak mau diganggu. Renata kebingungan. "Mau gua tinggal?" Tanyanya, masih canggung.
"Yuk, jalan aja..." Aku pun melewati Sean. Berusaha mengabaikannya.
Lalu tiba-tiba Sarah muncul. Sepertinya dia baru sampai naik bus sekolah. Perlahan rasa benciku muncul begitu saja. Yaelah, sekolah mahal aja masih naik bus Sekolah. Mending gak usah sekolah disini. Meringankan beban orangtua kan rumayan.
Tak terasa aku meremas tangan Renata. Renata bingung. "Selow aja kali megang gua. Mentang-mentang baru kemaren jadiannya hihihi..." aku berusaha tersenyum. But, it worked. Fake smileku memang kuakui sangat bermuslihat.
"Renataaaa...
Selamat ya jadian sama Reyn. Reyn, jangan racunin Renata ye... dia masih polos loh..." kata Clancy. Sepertinya dia sahabat Renata. Aku hanya tersenyum seperti biasa, fake smile, lagi.Sarah melihatku. Aku bersumpah ekspresiku antara kaget dan benci. Aku yakin dia melihat kilatan benci di mataku yang dominan. Dia menatapku seperti kecewa.
"Untuk membuat orang jadi gak mencintai lu lagi, lu harus seolah-olah membencinya. Palingan juga dia benci lu beneran, lietin aja..." kata Sean, waktu itu. Jadi aku mencoba untuk membencinya. Dan sekarang itu berhasil. Aku benar benar membencinya. Bukan mencintainya. Aku rasa itu hanya sementara. Tapi itu yang kurasakan sekarang.
Sarah masih melongo melihatku. Ekspresi wajahnya tidak dapat aku tebak. Campuran bingung, marah, kecewa, dan ingin menangis. Dia lalu berhenti memandangiku dan akhirnya berjalan menuju ke arah Gabby dan Esme. Sedangkan Renata masih mengobrol dengan Clancy. Dan aku di sebelah Renata.
Sarah, tolonglah benci padaku. Aku tidak mau menanggung luka hatimu dan perasaan yang selama ini kau pendam selama bertahun tahun padaku.
Tolong benci aku...
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Coma
Teen FictionBagaimana jika sepasang hati yang harusnya saling mencintai malah menuju ke arah yang berlainan satu dengan yang lain? Yang satunya mencintai, yang satunya membenci. Bukankah perasaan itu tumbuh karena rasa cinta? Tapi bagaimana jika dia adalah yang...