Gejala kanker ini kembali menguasaiku.
Batuk tanpa dahak yang kunjung tidak berhenti, sampai kepalaku yang terasa pusing. Kali ini, pusing sekali, sampai aku keheranan apakah aku terlalu keras belajar ataukah gejala kanker.
Belajar sekarang jadi aktivitas utama dalam hidupku. Karena kurang lebih dua bulan kurang lagi, aku akan melaksanakan ujian nasional SMA.
Waktu memang sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi. Targetku hari ini adalah belajar biologi sampai bisa, karena ada bagian yang belum kupahami.
Tak terasa setengah jam kemudian, aku baru saja selesai belajar, saat kulihat ibuku yang sedang duduk di ranjang kamar saat aku baru saja mau masuk kamar, karena kami satu kamar.
"Sarah, lihat sudah jam berapa?" Ibuku memandangiku dengan tatapan tidak senang. Sudah pasti dia khawatir karena aku belajar sampai jam dua pagi.
"Ma, aku belajar biologi. Ada bagian yang masih belum kupahami,"
"Mama ngerti, tapi kamu tahu, kan, kalau tidur jam segini itu gak baik buat kesehatanmu? Nak, sudahlah, mau nilaimu berapa, mama tak peduli lagi. Mama hanya peduli pada kesehatanmu,"
Aku memandang ibuku. Perkataannya memang benar. Taoi aku sedikit tersinggung seolah hasil yang kucapai selama ini tak dianggap olehnya, tapi lebih baik kuurungkan niatku untuk mengatakan itu daripada menyakiti hatinya.
"Maaf, ma. Mungkin mama benar. Yaudah, aku mau tidur, selamat tidur, mama," aku naik ke kasurku, dan langsung pulas. Barangkali sekarang yang sudah pukul 02.13.
~~~
'Dimana aku?' Perlahan aku memandang sekelilingku. Tempat itu entah dimana. Sampai aku melihat pemandangan tepat dihadapanku.
Tepat di depanku, seorang gadis kecil berkuncir dua, dia sedang bertepuk tangan. Entah untuk apa. Pandangannya sangat gembira, sedangkan tak jauh dari perempuan itu, ada seorang anak laki-laki yang sedang bermain sepeda. Mereka tampak akrab.
Tapi, pikiranku langsung kacau. Begitu menyadari bahwa perempuan itu adalah aku saat kecil dan laki-laki itu adalah... Reyn.
"Kamu liet aku yah. Aku udah jago loh, maen cepedanya," laki-laki itu melihat ke arahku yang saat itu kira-kira masih berusia 4 tahun.
"Kamu emangnya bica? Kalau jatoh gimana? Nanti aku nangis loh!"Reyn kecil memandang kearahku yang masih kecil,
"Aku gamacalah. Bial kamu telhibul. Kan aku cuka kamu!" Reyn mencubit gemas pipiku dulu. Sedangkan aku kecil dan aku sekarang sama-sama merona merah.
Aku kecil memandangi Reyn. Kami sama-sama berusia empat tahun. Entah apakah laki-laki berusia empat tahun dan perempuan berusia sama bisa mengalami jatuh cinta? Tau apa mereka tentang cinta?
Aku yang berusia empat tahun kala itu, memberi semangat pada Reyn, dan tidak bisa berhenti tersenyum. Sampai dia akhirnya bisa kembali lagi dengan selamat ke arahku.
"Aku bica. Kata daddy, aku halus telus mencoba dan belusaha, bial aku bica menikah cama kamu."
Aku memandangi Reyn, kali ini dari dekat, karena aku tahu ini hanya mimpiku saja. Aku melihatnya, cara bicaranya, dia benar-benar bersungguh. Dia pernah bersungguh-sungguh ingin menikah denganku. Tidak ada raut bercanda di wajahnya. Dia benar-benar...serius. Sedangkan, aku yang saat itu masih kecil, hanya terdiam namun bahagia.
'Reyn, aku masih mencintaimu' sambil mendesah pelan, aku duduk di samping mereka berdua.
Bertahun-tahun mereka akrab, dan sekarang, sudah seperti dua pribadi yang tidak pernah saling mengenal. Seolah semua kata-katanya, hanyalah janji palsu belaka. Hampir saja memakluminya karena jelas yang mengucapkannya saja masih sangat kecil dan aku yakin, Reyn yang dulu belum tahu apa arti pernikahan yang sesungguhnya.
Hingga tiba-tiba saja semuanya perlahan lenyap. Aku akhirnya terjaga. Sudah pukul enam pagi, waktunya menyibukkan diri. Melupakan Reyn dalam pikiranku, namun sambil berdoa dalam hati agar dia kembali sadar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Long Coma
Teen FictionBagaimana jika sepasang hati yang harusnya saling mencintai malah menuju ke arah yang berlainan satu dengan yang lain? Yang satunya mencintai, yang satunya membenci. Bukankah perasaan itu tumbuh karena rasa cinta? Tapi bagaimana jika dia adalah yang...