Reyn POV

52 6 1
                                    

    Meskipun hari ini sedang mulai hari pertama liburan sekolah, tapi hari ini gua ada janjian dengan Sean. Mau hangout. Kami baru saja selesai bermain basket di sports hall dekat rumah Sean dengan saudaranya.

   "Hey, bro, jomblo brohh hahaha" Sean menghampiriku yang baru saja selesai mengelap keringat.  Dan aku cemberut. "Diem lu." Kataku.
"Gimana kalo lu ngechat aja gitu ama sih Christina. Wakil ketos kita, bro. Kaca bro kaca, siapa yang gak mau sama lu? Badan lu yang seger dan sexy kayak begini, bro. Laku bro. Setidaknya jangan jadi jomblo. Gua juga yah, iri sama lu sih..."
"Iri? Lu iri sama gua kenapa? Lu udah punya Vera loh... Hmm...jangan-jangan lu naksir sama gua, gua tabok lu.." aku mulai mengernyit, dan agak geli.
"Bukan bro, bukan gitu. Kayaknya setelah putus, lu gimana gitu, rada aneh sih enggak ya, kayak ya, apalah gak tahu gua ngomongnya..."

   Aku terdiam, lama. Menatap sahabatku yang masih melap keringatnya. Kini aku berada di kamarnya. "Semua orang berubah setelah dia putus, Sean. Walaupun dia menyadarinya atau kagak. Semuanya akan. Mau gak mau." Kataku sambil melihat sahabat terbaikku itu.

   "Kalau lu suka sama siapapun, gua selalu mendukung elu. Gua selalu ada di belakang lu untuk support lu. Call me bro, kalo ada apa-apa. Gua akan merasa bersalah dan aneh kalau lu merasa kesepian, dan lu mengalaminya, tanpa gua." Aku mengangguk.

   Maklum Sean adalah sahabatku dari kelas 1 SD. Aku merasa 'hidup' jika ada di sebelahnya.

   Namanya juga sahabat. Sahabat akan selalu mendukungmu, apapun yang terjadi. Dia yang akan berada di sampingmu untuk mendorongmu melakukan segala sesuatu. Di sampingmu. Kadang aku pikir aku adalah sahabat yang buruk untuk Sean. Karena kearogananku yang susah menghilang. Rasanya aku memang hidup terkutuk dengan sikap turunan dari ayahku ini.

   Namun sahabat seperti Sean selalu mendukungku. Kalau mengingat dengan seksama, sepertinya Sean tidak pernah memarahi kearogananku ini. Malahan dia memakluminya. Disaat yang lain, orang lain menghela napas melihatku yang memang keras kepala dan sulit diubah, Sean dengan sikap labil-nya, kalian bisa percaya atau tidak, dia bisa memengaruhiku.

   Sahabat bisa mempengaruhimu melakukan hal yang positif ataupun negatif. Dan aku beruntung punya Sean yang aku yakini bisa mempengaruhiku dan terus mempengaruhiku menjadi pribadi yang akan terus positif. Walaupun belum kurasakan sekarang dengan jelas...

   "Bukan gitu, bro. Gimana gitu kalo lu suka sama orang tapi gengsi, gitu?" Mulaiku, setelah kami saling terdiam lama. Larut dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkan Sean. "Kalau misalnya ada rasa benci dan cinta. Dan anehnya adalah kedua rasa itu saling berebut untuk menjadi sisi yang paling utama. Paling dominan..." kataku.
"Gua bingung. Diemin aja kali, ya,Reyn. Kan ada tuh pepatahnya benci dan cinta itu BEDA TIPIS." Kata Sean. Aku masih bingung. Benarkah lama-lama perasaan ini akan berubab menjadi cinta? Kalau memang benar, aku akan menunggu...

~~~

   Christina?
Wakil ketua OSIS yang mempunyai senyuman yang menawan itu? Hmm...walaupun aku tidak ada rasa dengan Chris sepertinya aku ingin mengenal dia lebih dalam. Satu-satunya cara adalah berpacaran. Solusi alternatif.

   "Kayaknya setelah putus, lu kayak gimana gitu, rada aneh sih enggak ya..."

   Kata-kata Sean tadi siang cukup menghantamku. Apakah aku akan berubah dengan pesat setelah membenci seseorang? Seperti yang kulakukan ketika putus. Tidak ada komunikasi lagi. Semuanya selesai begitu saja. Dan Christina sedang on di chat.

~~~

   Ya, Christina menerimaku sebagai pacarnya. Pacarku yang ke 22. Aku langsung memberitahu Sean setelahnya.

  

Long Coma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang