Sarah POV

70 3 6
                                    

Aku masih saja menertawakan kekonyolanku saat kemarin berinteraksi dengan Ed.

Ed, sampai sekarang belum banyak berubah. Sikapnya,  gaya bicaranya yang kadang kekanakan atau mengundang tawa. Sayangnya, aku masih tidak memiliki perasaan apapun dengannya.

Bukannya tidak tahu, tapi aku mengerti rasa sayangnya padaku sampai sekarang memang belum hilang. Sedikit perhatian kecil saja ataupun besar darinya saja belum pernah membuat hatiku bergetar. Belum pernah. Hanya Reyn sampai detik ini yang sudah bertahun-tahun di mimpiku. Hanya dia.

Kupandang terus buku penunjang belajar untuk Ujian Nasional yang baru saja kubeli ini. Sebulan lagi, sudah Ujian Nasional dan sejujurnya aku masih belum siap sama sekali.

Tidak ada lagi gairah belajar dalam hidupku tiba-tiba. Rasanya semuanya sangat kacau. Pikiranku menolak untuk menghafal materi ujian Biologi. Ya, aku memilih pelajaran biologi dalam mata ujianku ini.

Sudah tiga bulan lebih Reyn koma, dan selama dia koma, aku tidak pernah memimpikannya sama sekali.

Banyak pertanyaan di benakku sekarang, apakah dia tidak ingin menemuiku sekali saja, walaupun di dunia mimpi sekalipun.

Walaupun aku baru saja mengunjunginya kemarin, tapi aku ingin bertemu dengannya lagi. Ingin sekali sekarang..

Waktu sudah menunjukkan pukul 2.45 pagi dan aku masih berkutat pada cover buku penunjang UN ini. Aku belum melihat dalamnya, belum membuka plastik buku tersebut karena otakku dan seluruh indera tubuhku merasa menolak, mual.

Darah langsung saja menetes di plastik buku itu. Sempat terdiam sebentar, lalu menyadari bahwa itu darahku. Aku langsung meraba hidungku dan benar saja, aku mimisan. Aku langsung cepat-cepat mengambil tissue untuk membersihkan darah ini. Yang penting ibu tidak boleh tahu aku mimisan lagi.

Aku tidak ingin dan tidak akan pernah mengkhawatirkannya. Tapi kepalaku langsung pening tak tertahankan lagi. Kucoba bertahan, tapi pandanganku malah makin berkunang-kunang dan aku tahu aku jatuh.

~~~

Aku terbangun dalam ruangan serba-putih. Sudah kuduga bahwa ini adalah ruangan rumah sakit. Samar-samar aku melihat ibuku di sebelahku dan tentu saja Gabby, Esme dan... Ed.

"Ma, aku kan cuma mimisan, kenapa sampai dibawa ke rumah sakit, sih?" Tanyaku. Biaya Rumah Sakit itu mahal. Kalau aku hanya mimisan, harusnya tak usah dibawa ke rumah sakit. Apalagi aku baru ingat, ibu belum membayar uang sekolah untuk bulan Maret ini. Kalau aku tidak membayar, habislah aku. Aku tidak akan pernah diberi kesempatan untuk Ujian Nasional.

"Tenang aja, Sar. Biayanya seratus persen ditanggung sama aku kok," Ed menyahut. Aku melongo. Atas dasar apa dia melakukan ini? Apalagi kalau bukan...cinta?

"Tapi aku murni karena aku pengin kamu cepat sembuh," aku terpana. Bukan karena merasa bahwa semuanya itu manis, tapi aku sakit apalagi? Aku sudah dinyatakan seratus persen dari kanker, tapi penyakit apa yang kupunya sekarang?

Sebelum bibirku membentuk sepatah kata, tiba-tiba, ibuku menangis. Aku tahu ada yang tidak beres. "Teman-teman, boleh minta waktu sebentar?" Temanku keluar dari ruanganku, dan kini tersisa aku dan ibuku.

"Kenapa, bu? Ada masalah? Keuangan kan sudah ada yang bayar." Tapi ibuku semakin terisak. Aku benar-benar tidak mengerti.

"Bu? Bu, Jawab! Ibu!" Tanpa sadar, aku berteriak. Walaupun setelahnya aku menyesal setengah mati.

"Maafkan ibu, nak. Ibu, ibu.." dia tampak kesulitan mengucapkan kalimat tersebut.

"Kanker kamu kembali lagi, nak,"

Seketika jantungku rasanya ingin keluar. Ibuku menangis terisak lagi. Kali ini lebih keras dibandingkan sebelumnya.

"Ibu baru mendapatkannya dari hasil lab. Kanker kamu sudah stadium 3, dan sudah merambat ke organ tubuh lain, nak. Ibu benar-benar tak sanggup kehilangan kamu, ibu tidak sanggup,"

Kupeluk ibuku yang menangis histeris sekarang. Hancur hatiku. Aku sudah tidak bisa menangis karena ulu hatiku sudah terlalu sakit. Tidak ada air mata yang keluar.  Tidak ada penghiburan. Kali ini aku tahu aku akan mati.






Long Coma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang