Perubahan yang kurasakan selama ini pada Sarah sudah mulai berubah. Suasananya. Aku yang awalnya cenderung menjauh darinya, kini mulai bersikap biasa dengannya.
Bodoh sekali memang. Aku yang awalnya benci padanya, kini mulai melupakan perasaan benci itu. Memang benar kalau kau ingin memaafkan orang lain, kau memang harus mencoba terbuka pada dirimu sendiri.
Waktu makan malam, ibu menjemputku. Bulan ini memang giliran ibu. Karena dad akan ke USA kurang lebih sebulan.
Selama aku tinggal di rumahnya, aku senang bisa bercerita mengenai keseharianku padanya. Maksudku adalah tidak ada yang kututupi, saat ibu akhirnya mulai bicara tentang pacar.
Aku jujur bahwa aku putus dengan pacar terakhirku karena dia selingkuh. Juga tentang Sean. Ibuku mengenal Sean. Dia bahkan tak segan aku undang menginap di rumah ibuku ini, dulu.
"Entah Reyn akan memaafkan dia. Reyn gak tahu lagi, ma. Reyn kira persahabatan itu bisa abadi. 10 tahun itu waktu yang sangat lama, ma. Sampai dikhianatin begitu." Layaknya seorang ibu pada umumnya, ibu lalu mengusap rambutku. Aku jatuh dalam dekapannya. Bukan masalahnya pada Chris, tapi pada Sean. Sahabat lamaku. Sampai di kamarku di rumah ibu saja masih ada foto kenanganku dengan Sean.
"Reyn, siapa yang tidak hancur dikhianati oleh sahabatnya sendiri? Ibu tidak pernah memang dikhianati seperti kamu. Tapi seperti yang kamu tahu, ibu pun bisa merasakannya, karena kamu darah daging ibu. Ibu bisa merasakannya. Kamu tidak perlu dendam, Reyn. Jika memang Christina lebih memilih sahabatmu itu, lepaskanlah. Karena artinya dia tidak akan cocok sama kamu. Masih banyak perempuan yang lebih setia." Aku tidak bisa menangis. Maksudku adalah aku sudah menyingkirkan foto kenangan dengan Sean. Bodohnya aku adalah pernah mendeklarasikan persahabatan seumur hidup padanya. Bodohnya aku sampai bisa memikirkan bahwa persahabatan kami sejati.
"Kenapa sih, bu, ada pengkhianatan di dunia ini?" Kataku sambil melap air mata ini. Rasanya masih tak sanggup berkata-kata.
"Supaya kamu bisa tahu mana sahabat yang benar-benar tulus sama kamu atau enggak."
Kata-kata ibu memang ada benarnya. Tapi aku memang tidak menduga bahwa memang yang mengkhianatiku adalah Sean.
"Kamu melihat Sean selama ini memang baik padamu, tapi coba evaluasikan lagi. Apakah persahabatan selama 10 tahun seperti ini sudah dapat dikatakan persahabatan abadi?" Aku menggeleng. "Jika memang bukan, sekarang dia bukan urusanmu lagi. Sekarang kamu hanya perlu memaafkannya."
"Apakah harus?" Aku memandang ibuku. Antara heran, bingung, dan masih emosional. "Mengapa tidak kau coba? Mereka bilang sedalam apakah persahabatanmu dengan seseorang, semakin kuat cobaannya, ternyata memang benar."
Memaafkan itu susah. Juga butuh waktu yang lama bagiku untuk mengangguk, ya benar, Sean memang bukan temanku lagi, tapi mungkin memaafkannya bisa melupakan memori persahabatan kami.
"Kamu tahu kenapa ada yang namanya pengkhianatan, oleh teman? Ataupun sahabat?" Aku menggeleng.
"Kamu bisa melihat dengan jelas, mana sahabat yang setia dengan kamu. Sahabat yang setia walaupun ada teman yang baik setidaknya dia tidak akan melupakan sahabat lamanya. Sahabat lama apalagi yang sudah bersahabat selama 10 tabun memang kalau dipikir tidak logis, bisa berkhianat dengan mudahnya." Aku masih dalam pelukan ibu, ketika aku mencoba pelan-pelan melepaskannya.
Kupandang wajah ibuku sendiri. Merasa kagum atas segala nasehatnya, tutur katanya yang selalu berhasil menenangkanku. Kata-katanya yang selalu benar dan...menenangkan.
"Kadang, memberi kesempatan kedua lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Kamu tahu kalau luka akan baik seiring waktu. Gapapa kalo emosi kamu masih meluap-luap sekarang. Tapi jangan pernah membiarkan rasa dendam dan benci itu terus menguasai kamu.." aku memandang wajah ibuku yang berkilau dalam terang cahaya bulan malam ini.
Tak tahan, aku akhirnya memeluknya sekali lagi, sambil dalam hati mengucapkan syukur karena ibuku yang terbaik.
![](https://img.wattpad.com/cover/76911051-288-k852127.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Coma
Teen FictionBagaimana jika sepasang hati yang harusnya saling mencintai malah menuju ke arah yang berlainan satu dengan yang lain? Yang satunya mencintai, yang satunya membenci. Bukankah perasaan itu tumbuh karena rasa cinta? Tapi bagaimana jika dia adalah yang...