Sarah POV

38 3 0
                                    

   Penyakitku sudah mulai mendingan. Gejala batuk ataupun yang lainnya sudah tidak ada lagi. Tapi aku yakin kalau ibuku pasti mengetahui prnyakit yang kuderita sekarang. Kalau tidak pasti dokter tidak sembarangan memberi obat, kan?

   Tapi aku ragu, apakah aku yang terlalu berpikiran negatif atau apa? Bahkan aku memilih untuk diam saja.

   Mungkin memang benar kali ini aku hanya berpikir negatif. Mungkin memang sakit yang kuderita ini biasa.

~~~

Author POV

  Perempuan itu menuju ke sebuah rumah sakit. Ia benar-benar tak sabar melihat hasil tes DNA tersebut.

   Apakah benar dia itu anaknya?

   Dia melihat hasil tes yang diserahkan kepadanya. Masih berbentuk amplop. Dibukanya perekat pada amplop tersebut.

   Benar, dia adalah putranya. Dan perempuan itu akan mengajukan klaim pada pria yang mengaku bahwa putranya adalah anak kandungnya...

~~~

   Sarah POV

   Hari ini, aku mual. Lagi.

   Aku benar-benar tidak kuat. Maksudku, mual ini benar-benar menguasaiku setelah obat dari dokternya habis.

   Berusaha mencari tahu, aku menyelinap ke klinik dekat rumahku untuk membeli obat itu saat ibuku sedang berada di rumah makannya.

   Aku membawa sisa obat beserta kemasannya. Aku juga ingin tahu itu obat apa. Kali ini, aku benar-benar ingin tahu..

~~~


  "Pasien nomor 36. Silakan," aku mengangguk kepada suster yang memanggilku. Kali ini aku akan berkonsultasi dengan dokter. Sendirian.

   "Silakan duduk." Dokter itu perempuan. Aku melihat namanya dalam name tag-nya. Namanya Dr. Rosaline.

"Apa keluhan anda?"

"Saya sering mual, hidung saya sering berdarah, dan batuk saya parah. Selain itu rambut saya rontok."

"Menurut diagnosis saya dari tanda-tanda anda. Saya kira  anda terkena kanker jaringan lunak. Saya bukan menakuti anda. Tapi, saya rasa anda harus didiagnosis di rumah sakit."

   Pandanganku langsung gelap. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya kedua kakiku sudah tidak dapat menahan badanku untuk jatuh. Seolah aku akan jatuh tapi ini sebuah di luar kesadaranku. Seperti aku kehilangan kendali.

   Aku mungkin akan mati. Mungkin hidupku hanya beberapa bulan lagi. Atau dalam hitungan hari.

"Sampai kapan saya hidup?" Tanyaku, lemas. Pasrah.

"1 tahun karena untungnya anda terdiagnosis masih stadium 1."

   Waktuku hanya satu tahun lagi di dunia ini.

   Bagaimana dengan keluargaku?
Bagaimana dengan teman-temanku?
Juga dengan beasiswaku?

   Mengapa waktu hidupku seperti countdown?

   Hitung mundur menuju kematian.

   Tik...tik...tik...

   Mungkin memang hidupku ditakdirkan menjadi gadis malang. Selamanya.

   Mungkin memang aku harus belajar berhenti mencintai Reyn. Mengikhlaskannya. Membiarkannya pergi dalam hidupku.

   Karena untuk apa dalam sisa hidupku, aku harus hidup dalam sakit, menahan kepedihan ini?

   Aku mau bahagia. Aku mau bebas. Menjalani sisa-sisa hidupku dengan bahagia. Walaupun melupakanmu  akan butuh waktu lebih dari seumur hidupku.

~~~

   Timeless.

   Rasanya aku tidak sanggup. Mengapa selama hidupku aku selalu ditimpa kesedihan, kepedihan tiada putus-putusnya?

   Seolah hidupku hanya dalam duka. Bahkan ibuku yang kupercaya dan kusayangi pun menyembunyikan ini semua dariku?

"Sarah...kemarilah. Ibu ingin bicara denganmu." Teriak ibuku.





  

Long Coma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang