Reyn POV

31 3 0
                                    

   Yang dulu bersikap dingin, kini mulai hangat.

   Kau tahu bahwa mentari akan mencairkan es jika sudah terlalu lama es itu berada di dekatnya. Hal itu yang kurasakan pada Sarah.

   Aku, esnya.
Sarah, mentari.

   Sarah, mentariku. Dia membuka pandanganku selama ini. Dari aku yang dikhianati oleh Sean. Kini aku berusaha menyapa Sean. Awalnya jujur aku takut, tapi sapaan itu tiba-tiba bisa terluncur dari mulutku juga aku bingung, sih. Sean mungkin penasaran. Hingga suatu hari dia bertanya padaku mengapa aku bisa terus bersikap hangat padanya. Sean lalu meminta maaf padaku, dan berjanji tak akan mengkhianati persahabatan kami lagi.

   Tapi daripada tersakiti lagi, aku memilih untuk menjaga jarak lagi antara aku dan Sean.

   Memaafkan ternyata gampang. Aku selalu merasa bahwa awalnya memaafkan seseorang itu sulit. Hingga akhirnya aku mencobanya.

~~~

   Satu hal yang masih menganggu hidupku adalah mengapa kini Sarah malah bersikap dingin padaku.

   Jika memang dia tak menyukaiku, baiklah. Tapi mengapa segalanya tanpa alasan?

   Aku menduga Ed-lah yang menyebabkan ini. Aku hanya tak ingin Ed merusaknya. Walaupun aku tahu, hubunganku dengan Sarah belum menghasilkan perasaan apapun buatku.

   Terlalu keraskah hatiku sampai menerima dia dalam hatiku saja masih berat untuk kulakukan? Mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk menjadi apa-apa...

~~~

    Aneh rasanya mengapa aku tidak bisa menutupi rasa ingin memiliki seseorang. Maksudnya, aku tidak ingin hidup tanpa pacaran.

   Sampai trauma tentang hubunganku dengan Chris, tidak menghentikan niatku untuk mencari siapa perempuan yang benar-benar kucari, benar-benar kurindukan ketika kelak aku pergi entah kemana, rute terakhirku dalam mencari cinta. Tapi dia belum ada.

    Perempuan itu belum pernah ada di dunia.

    Aku takut jika dia lahir ketika nanti aku sudah hampir mati, atau saat aku memang benar-benar sudah mati. Anehnya, malah bayang-bayang Sarah-lah yang menghiasi pikiranku sekarang. Berusaha bergeming, aku berusaha melupakannya, dan mencari siapa sosok ideal untuk menjadi kekasih sementara sekarang.

   Akhirnya aku malam itu, aku malah mengajak Jesselyn, si ketua OSIS untuk pacaran. Memangnya kenapa? Aku setidaknya akan berusaha lagi untuk mencari sosok perempuan yang kuidam-idamkan.

   Setidaknya perasaanku akan Jesselyn hari ini sedang menggila...

~~~

   Tapi malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur. Hari ini aku masih di rumah ibu. Ini rumahku dulu. Rumah aku, daddy, dan ibu sebelum bercerai dulu. Rumah yang penuh kenangan, kamarku yang sekarang sedang kutiduri, masih berbau wangi lavender. Ibu memang suka aroma lavender dan memasang pewangi aroma lavender di seluruh ruang rumahku. Sebelahnya, ya, rumah Sarah dulu, sebelum kekaisaran bisnis ayahnya runtuh dan kemudian ayahnya meninggal.

   Walaupun aku bukan ayahku, tapi kuakui pikiranku setiap malam yang hampir tertuju kepada memoar ayah Sarah terus menghantui. Mulutku kelu untuk menyampaikan permintaan maafku, atau atas nama ayahku.

   Betapa bodohnya aku dan kata-kata itulah yang tiap malam selalu mengantarkan diriku dan jiwaku melayang dalam mimpi. Aku tidak pernah bertanggung jawab. Aku memang payah.

   Hingga akhirnya aku bisa tertidur, tentunya setelah mencium dalam-dalam aroma lavender itu. Setidaknya malam ini saja.

  

  

  

  

  

Long Coma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang