Sarah POV

31 3 0
                                    

   Aku merasa bahwa aku memang tidak pantas untuk Reyn. Reyn harusnya sudah kuikhlaskan dari awal agar aku tidak sakit.
  
   Harusnya aku tidak merasa tidak membutuhkannya saat kemarin dia mencoba baik-baik denganku. Aku malah menyalahgunakan itu. Aku merasa aku bisa hidup tanpa cintanya.

    Sekarang dia sudah bersama Miranda Marcy. Perempuan paling populer di sekolah. Miranda memang cantik. Rambut ombrenya, segalanya dari ujung kaki sampai ujung kepalanya memang sempurna. Kata Gabby, mereka baru pacaran selama 3 bulan dari kelas 11 akhir.

    Sekarang aku sudah kelas 12. Dan berbeda kelas dengannya. Setiap kali berpapasan dengannya, dia selalu menggandeng Miranda atau genknya. Setiap kali melihatku, tatapan bencinya itu kembali hidup.

   Harusnya aku harus bisa melepasnya dari dulu, karena cintaku sudah disia-siakan olehnya.

   Walaupun aku memang tidak bisa menerima Ed dalam hidupku. Kalau aku menyadarinya, Ed tidak pernah menganggapku ada lagi. Dia mengabaikanku.

   Selama ini hanya Gabby dan Esme yang sabar dan setia menghadapi gejolak aneh dalam hidupku.  Rasanya aneh aku bisa dipertemukan dengan Reyn dan Ed dalam satu sekolah ini.

   "Aneh emang. Tapi yakin deh, tar lagi kita lulus, o iya, Sar, lu udah daftar di universitas mana?" Tanya Gabby, sepulang sekolah di kantin.

   "Gue udah ngajuin beasiswa ke Oxford and Cambridge, sih. Pengen cari ke England. Semoga diterima, lah. Kalian kemana?" Tanyaku. Aku sudah mengajukan beasiswa ke Oxford dan Cambridge University.

   "Buset deh. Itu sih universitas top loh dua-duanya, say. Kalo gua udah diterima di New York University, tadinya mau di California Institute, tapi beuh, gak lolos..." kata Gabby.

   "Gua ke Yale." Kata Esme, singkat.

   Kedua sahabatku akan meninggalkanku sendiri. Kami akan terpisah benua. Entah apakah aku akan merasa sendirian lagi disana. Atau bagaimana aku akan berusaha menghilangkan kerinduan akan mereka?

"Oh iya, kalian jurusan apa disana?" Tanyaku.

   "Gua psikologi, dong..." Kali ini Gabby benar-benar gembira. "And Esme?"

   "Politics."

   Tak sadar, aku malah bengong. "Ya ya ya. Gua juga awalnya bengong begitu tahu dia diterima di Yale jurusan politik, lagi! Jago juga kan kembaran gua ini cari matinya." Esme hanya tertawa ngakak mendengar omongan kembarannya. Begitu pula aku.

   "Lu jurusannya  apa, honey?" Esme asks me.

"Doctor."

Kali ini mereka yang bingung...

~~~

    Begitu pulang kerumah, aku mendengar teriakkan ibu. Aku tahu ini teriakannya. Sampai aku baru ingat bahwa Johnny sudah pulang ke rumah kemarin.

   Sial--
Aku telat. Harusnya aku tidak membiarkan ibuku hanya berdua dengan Johnny.

   "Ampun, tidak! Tolong!" Ibuku berteriak sampai aku mendobrak kamarnya yang terkunci hingga terbuka. Aku melihat Johnny yang di depan mataku sedang menampar ibu. Ibuku yang diikat olehnya di kursi hanya bisa menunjukkan raut pasrah. Aku melihat ibuku dengan wajahnya yang berdarah-darah.

    Merasa geram, aku berusaha menendangnya, Johnny dengan spontan menghindar dari seranganku. Dia lalu memelukku dari belakang, berusaha membuatku lemas, namun dengan sekuat tenaga, aku menggigit lengannya. Dia lalu memegang kendali, menjambak rambut panjangku hingga akhirnya ibu berhasil melepaskan ikatannya dan turun ke bawah. Aku harap dia memanggil bantuan.

   "Sialan. Nekad banget lu kayak janda itu. Sialan." Dia menamparku lagi, dengan keras. Hidungku berdarah. Darah hitam sampai keluar, aku menutup mata saat terkahir kalinya aku melihat di depan pintu sudah banyak tetangga yang datang untuk menyelamatkanku dan ibu.

~~~

   Susana rumah sakit itu paling tidak bisa kutahan. Aku benci suasana rumah sakit. Terkadang, itu mengingatkanku akan ayah. Aku terakhir ke rumah sakit saat ayah masih dirawat. Dan semenjak itu, aku mulai membenci rumah sakit. Hingga aku melihat Gabby, Esme, dan ibuku.

   Satu hal yang pasti, aku melihat bahwa ibuku baru saja menangis. Aku mengetahuinya karena mukanya memerah. Dia langsung memelukku setelah aku sadar.
"Ibu merindukanmu,sayang..." ibu memelukku. Kami akhirnya menangis bersama.

   Setelah tenang, aku bertanya pada ibuku berapa hari aku di rumah sakit.

   "Tiga hari. Hari pertama kamu disini, kamu mimisan terus. Mama panik, pingsan kamu juga lama banget. Mama bawa kamu ke rumah sakit. Dan, syukurlah anak mama ga kenapa-napa..." Ini semua karena Johnny.

   "Bagaimana dengan Johnny?" Tanyaku, sinis.

"Ditangkap warga. Karena dia terbukti melakukan penganiayaan, maka dipenjara 30 tahun. Juga pernah terlibat berjudi, merampok, mencuri sehingga dihukum seumur hidup." kata Esme. Aku bahagia. Akhirnya dia menerima ganjarannya juga.

   Aku dan ibu berpelukkan lagi kali ini. Terharu akhirnya bersama-sama lagi...

  

  

Long Coma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang