Sarah POV

39 4 0
                                    

Batukku kambuh lagi ditambah dengan kepalaku yang makin pusing saja. Seolah pelajaran matematika yang kusuka ini malah menambah beban penyakitku.

Pelajaran tambahan matematika yang sangat kusukai ini malah ingin sesegeranya kusudahi. Sampai aku ingat aku belum minum obat dari dokter.

"Hey, lu gak pa pa, kan? UKS aja, gua anterin," paksa Esme.

"Gak ah, bagian ini ada yang gua belum terlalu bisa. Entar keteteran lagi kalau belajar sendiri. Udah, ga pa pa, Esm, lu fokus aja, gak usah peduliin gua."

"Gila aja, lu itu sahabat gua, kalau lu kenapa-kenapa gua bilang apa sama emak lu?" Esme menatapku tajam, namun seolah memaksa.

"Batuk doang. Ya, gak pa pa kali.. udahlah lu fokus belajar aja. Bilang apa gua sama emak lu kalau nilai ulangan lu jelek?" Aku menatapnya, sedangkan dia hanya bisa terdiam. Skakmat.

"Terserah elu lah. Asal lu tahu aja, batuk lu tuh gak ngangguin gua, ya. Tapi gangguin yang lain yang lagi belajar disini,"

Sepuluh menit kemudian, batukku malah makin parah sampai Pak Jody, guru matematikaku menyuruhku ke UKS.

"Sarah, dari tadi batukmu sepertinya menganggu teman-teman kamu. Lebih baik kamu ke UKS sekarang, ya. Biar, ehm, siapa yang mau menemani Sarah ke ruang UKS?"

Esme tentu saja mengangkat tangannya, tapi yang membuatku kaget adalah saat Ed mengangkat tangannya.

"Saya aja, pak." Suaranya tegas dan lantang.

"Yaudah, Edward saja, silakan temani Sarah ke ruang UKS, ya. Ingat, langsung balik ke ruangan ini, ya," Ed lalu berjalan di belakangku, aku mengucapkan pamit pada pak Jody karena pelajaran tambahan ini akan berakhir setengah jam lagi.

~~~

"Harusnya lu pulang aja, setengah jam lagi juga udah selesai. Atau mau gua minta ijinin pak Jody biar lu langsung pulang aja?"

Aku menggeleng. Dia berjalan tepat di sampingku.

"Emangnya ganggu banget ya? Maaf banget, gua malah gak tahu diri," ruang UKS ada di lantai satu sedangkan kelasku di lantai tiga.

"Buat gua, sih enggak. Gua udah ngerti. Lu istirahat ajalah, gua yakin lu udah ngerti kan materi ini," kami sambil menuruni tangga.

"Eh, enggak kok. Ada yang masih gua gak paham juga. O iya, Ed,"

"Kenapa, Sar?"

"Itu, eh, kok lu gak pernah jauhin gua sih? Setelah gua udah tolak lu berkali-kali, eh, maaf ya, gua malah lancang,"

"Gak pa pa, tanyain aja. Gua gak masalah kalo lu lancang. Lu bagian dari hidup gua. Gua serius. Jangan kira, kalau lu tolak gue, gua bisa dengan mudahnya gak pedulian lagi sama lu, dan jujur,"

Ruangan UKS sudah mulai terlihat, saat akhirnya Ed mengucapkan kalimat itu.

"Gua makin suka sama lu,"

Kami saling bertatapan. Kali ini aku yakin menatapnya lebih dalam dari biasanya. Diapun juga.

"Sampai sebegitunya ya lu ngejar-ngejar gua. Tapi gua malah sia-siain elu," aku bersuara lirih. Yakin suaraku tak akan didengar olehnya.

"Lu tetap someone buat gua,"

Singkat dan jelas dalam kalimat terakhirnya. Aku menatapnya lama lagi. Aku sudah si depan ruang UKS, dan melihatnya tersenyum.

"Udah, gih, masuk aja. Gua pulang langsung deh ke ruang UKS, anterin lu pulang, udah lama gak ketemu tante Lusi, nih, hehehehe..."

Aku tersenyum. Ada perasaan lega yang baru dalam hatiku. Rasa lega yang tak pernah kurasakan sebelumnya, mengingat bahwa kali ini dia sekadar menyukaiku, dan rela melepas ku pergi.

Long Coma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang