Kurasakan tubuhku yang makin lama makin lemas ini. Seolah hidupku seakan hanya tinggal sehari lagi untuk tinggal.
Ini pertama kalinya aku merasakan kemoterapi.
Kata dokter, tubuhku makin rapuh setiap harinya. Ternyata kanker ini fokus ke kepalaku.
Dimulai dari sering sakit kepala, dan mataku yang tampak aneh. Selain itu kanker ini juga menyerang lenganku. Lenganku seolah harus menanggung rasa nyeri setiap saat.
Aku takut penyakit ini dapat membutakan jalan hidupku. Apalagi di kala waktu hidupku yang hanya tersisa sebentar lagi. Membutakan cita-cita, serta impian terbesar dalam hidupku. Menjadi psikolog atau dokter.
Apabila kebanyakan orang takut untuk mati. Aku malah sebaliknya. Aku berani mati...
Berani hidup, tanda berani mati.
Namun aku akan berusaha agar hidupku tidak sia-sia.
Aku baru saja menjalankan kemoterapi pertamaku. Pertama-tamanya, aku dibawa ke ruangan dan disuntik, entah apa itu. Lalu, aku tidak sadar selama entah berapa jam.
Sesadarnya, aku melihat ibuku yang berada di sebelahku. Duduk di ruangan biasa.
Dia tertidur. Wajahnya kelihatan sekali dia barusan menangis.
Aku tidak tega. Tidak akan pernah tega melihat ibuku yang setiap hari selalu menyembunyikan perasaannya. Menyembunyikan kesedihannya.
Setiap kali, aku tertangkap melihatnya yang sedang menyembunyikan air matanya. Kadang, dia menghapusnya.
"Sarah, kamu sudah bangun, sayang? Sudah lama?" Ibuku tiba-tiba saja bangun. Mata kami bertemu. Matanya merah.
"Ma..."
"Kenapa, sayang? Kamu sakit lagi? Ada apa? Mau dipanggil dokter?"
"Bukan, ma. Sarah cuma pengin minta maaf aja. Sarah udah buat mama nangis sampai mata mama merah begitu. Sar-"
"Ssst..." dia membelai lembut kepalaku.
"Siapa bilang mama nangis sayang. Asal Sarah punya keinginan sembuh, mama pasti makin lega sekarang sayang."
Aku menangis. Seolah membaca pikiranku, dia tahu bahwa aku butuh pelukan. Sangat-sangat butuh.
"Mama, Sarah janji, ma. Sarah mau sembuh. Sarah gak mau di kemo lagi, ma. Mual ma, " ibuku memelukku erat.
Kali ini aku benar-benar merasakannya menangis. Tapi kali ini kami menangis bersama. Yang satu berjanji untuk berjuang agar sembuh dan satunya lagi berjuang untuk menguatkan.
~~~
Seminggu kemoterapi aku diperbolehkan pulang karena adanya kemajuan dalam diriku.
"Sel-sel kanker masih ada. Anda memang belum 100% sembuh. Tapi saya yakin dengan semangat dalam diri anda, anda bisa sesegeranya sembuh." Dokter mengunjungi kamarku untuk yang terakhir kalinya.
Aku senang, karena akhirnya aku bisa bertahan dari penyakit mematikan ini. Penyakit yang sempat mengontrol diriku hingga aku bisa jatuh.
Tetapi dorongan dari ibuku dan diriku sendirilah yang menyebabkanku sembuh. Apalagi kedua temanku, Gabby dan Esme, yang menjemputku dari Rumah Sakit.
"Ciah. Akhirnya pulang juga nih. Jaga kesehatan selalu, ya. Jangan kecapekan lagi." Sapa Gabby dari dalam mobil.
Sedangkan Pak Rudy, sopir keluarga Esme dan Gabby lekas mengantarkanku pulang sampai sesaat sebelumnya aku menatap lagi bangunan Rumah Sakit ini, tempat Reyn yang masih koma.
'Cepat bangun, Reyn. Aku begitu merindukanmu.'
Kata-kata itu spontan dalam hatiku. Menunggu untuk diucapkan secara langsung.
-----------------------------
Hai, readers!
Aku gak sabar untuk menamatkan cerita ini, nih.
O iya, bagaimana tanggapan kalian tentang cerita ini?
Mari budidayakan vote setelah membaca ya. Itu artinya, kamu sudah menghargai pengarangnya.
Oke deh, selamat menikmati ceritaku kali ini ya. Tetep ikutin cerita ini, okay? Karena sekitar 10 bab-an lagi mungkin akan habis.
Adiós! (Good bye dalam bahasa Spanyol) tetap baca ceritaku jangan lupa juga untuk vote dan komentarnya!👯
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Coma
Roman pour AdolescentsBagaimana jika sepasang hati yang harusnya saling mencintai malah menuju ke arah yang berlainan satu dengan yang lain? Yang satunya mencintai, yang satunya membenci. Bukankah perasaan itu tumbuh karena rasa cinta? Tapi bagaimana jika dia adalah yang...