Sarah POV & Reyn POV

53 4 1
                                        

Soundtrack = On & On - Snakehips

Masuk sekolah hari pertama itu menyenangkan.

Bertemu lagi dengan teman-teman, belajar, dan beristirahat dengan teman-teman.

Walaupun rasanya ada yang kurang.

Tidak ada lagi suara tawa di kantin setiap kali istirahat, tidak ada lagi suara heboh atau bercandaan dari geng Reyn. Sean selalu pucat apabila aku melihatnya. Seolah kehilangan semangat hidup.

Hari ini sudah 2 bulan Reyn koma, tepat 11 Februari.

Jendela di ruangan kelas seolah menampakkan suasana langit Jakarta sekarang. Kelabu dan gelap. Hujan akan datang.

Dan benar, hujan tiba-tiba sudah turun saja. Andai saja sekarang waktunya aku pulang, mungkin aku akan berjalan sambil diiringi hujan, seperti biasanya.

Pelajaran hari Senin itu selalu membosankan. Sungguh. Pelajaran sehabis istirahat pertama ini adalah fisika. Kupandangi Ibu Lisa, guru fisika-ku dengan malas-malasan. Aku benar-benar malas mendengar apapun yang ia katakan itu.

Esme melihatku lalu tidak tinggal diam.

"Kenapa lo?"

"Hah? Enggak kok," aku melohat Esme dengan malas. Seolah dia adalah orang yang asing.

"Lo ga jago pura-pura, seriusan. Beneran, heh, kenapa?"

Aku kontan saja mapah semakin malas.

"Lagi gak mood, ya? Yaudahlah, o iya, catatan Ibu Lisa sih, terkenal banyak loh. Kalo lagi gak mood, silakan minjem gua ajalah."

Aku mengangguk. Mungkin sekarang Esme sudah mengerti. Entah, hatiku masih terpaut pada Reyn atau efek kemoterapi 20-an hari yang lalu.

Tapi yang paling jujur ingin kukatakan dari dalam hatiku adalah aku merindukan Reyn, dan ingin dia segera sadar, sebelum akhirnya meninggal.

~~~

Reyn POV

Momma sudah datang ke ruanganku pagi-pagi sekali. Aku melihatnya dengan mata yang sembab, masih menangis, namun seperti euforia setelah melihatku, seolah ingin menyampaikan suatu kabar bahagia.

"Reyn Sayangku? Maafin mom ya, sayang udah tinggalin kamu semalaman di Rumah Sakit sendiri sayang. Reyn, mama ada kabar bahagia, sayang,"

Mama tersenyum sumringah. Apa kabar bahagia yang akan dibawanya?

Mama mengenggam tanganku, tangannya seperti biasa, mengelus lembut tanganku.

Sampai aku tersadar, sampai aku melihat sebuah cincin di jari manis tangannya.

Ya, aku tahu pasti itu cincin pernikahan dad dan mom. Berarti...?

Mereka rujuk???

"Reyn, mom yakiiin banget kalau kamu sudah sadar, kamu pasti tahu cincin siapa di jari mom sekarang," dia seolah memainkan cincin itu di depanku.

"Ya, ini cincin pernikahan mom dan dad kamu. Sayang, mom, udah..."

Perlahan mom menangis lagi. Kali ini aku tahu dia menangis bahagia.

"Mom sudah rujuk dengan papa kamu, Reyn. Mom bahagia banget. Sekarang kami semua sudah tinggal serumah, sama Ed juga. Tapi, kurang kamu, Reyn,"

Walaupun aku merasakan kalau dia menangis bahagia, tapi tetap saja ada kesedihan di dalamnya, keluargaku, seluruhnya, merindukan agar aku kembali sadar.

"Reyn, jangan pernah ya sayang, menganggap kalau cinta itu tidak akan pernah abadi. Maaf, kemarin mom melohat buju diary-mu dan membaca kalau kamu beranggapan kalau cinta seseorang kepada pasangannya tidaklah abadi,"

"Mungkin kamu bisa bilang, kalau cinta sepasang kekasih itu mungkin tidak abadi, tapi momma dan dad juga memulai masa pacaran, Reyn, lalu menikah, dan lahirlah kamu dan Ez, adikmu,"

"Jadi, tolong jangan menghakimi. Mungkin waktu kamu sekarang bukan untuk pacaran. Fokuslah untuk masa depan kamu, saat kamu sadar nanti. Masa depanmu masih sangat lebar dan juga cerah. Momma selalu berdoa yang terbaik untuk kamu, Reyn,"

Momma mengecup kepalaku. Lalu mematikan lampu ruanganku, dan seperti biasa tidur di sampingku.





Long Coma Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang