"Tapi tunggu dulu, tunggu saja. Di akhir jalan itu, aku pemenang. Meski terjerat batas penghalang. Aku tetap menang."***
LELAKI itu akhirnya menarik napas dalam sebelum memutar gagang pintu kamarnya sendiri. Ia sudah tidak apa-apa, menurutnya. Lagi pula apa yang harus ia rasakan sekarang, selain berusaha untuk baik-baik saja?
"Enggak, Ayah bakalan lakuin apapun supaya kamu sembuh. Tapi Please, kamu harus berhenti merokok." Sorot mata Ayahnya penuh janji, penuh amarah yang entah di tujukan kepada siapa ddan juga sebuah kekecewaan. Namun dari sorot mata itu, Lego mulai menaruh harap. Ia pasti sembuh. Ia akan melakukan apa saja, termasuk berhenti merokok. Masih banyak yang ingin ia lakukan di bumi ini, ia tak ingin pergi dulu.
"Jangan bilang Bunda." Hanya itu yang ia ucapkan sebelum akhirnya pergi dari sana. Entah bagaimana ia tau, mungkin karena Pikiran Lego dan Javier sejalan. Mereka sama-sama ingin melindungi Milea dari rasa sakit dan tangis.
Venus yang ternyata sudah berpindah berbaring di atas tempat tidur pun menoleh. Memandangi Lego yang air mukanya berbeda ketika terakhir kali keluar dari ruangan besar itu. "Gue nemu sterofoam di samping meja belajar lo." Lego pun menoleh, memandangi prakaryanya sudah tertempel pada sterofoam dan selesai.
"Lo bawa sepedah kan?" Tanya Lego membuat Venus akhirnya memilih untuk duduk di tempatnya, "Iya, emang kenapa?" Jawabnya sedikit ragu.
Lego menoleh tepat kemanik mata cokelat gadis itu, "Ikut gue." Perintahnya sebelum akhirnya pergi begitu saja dari kamar bernuansa gelap karena dindingnya di cat hitam dan abu-abu itu.
"Kenapa gue bisa kenal sama ni orang." Gadis itu menurunkan kakinya kelantai kemudian berdiri hendak menyusul Lego. Tepat sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat itu, ia kembali bergumam, "Dan kenapa gue mau aja disuruh-suruh?"
Namun gadis itu tetap pergi. Berjalan mengekori Lego, kemanapun tujuannya.
***
Sepedah kumbang berwarna merah muda dengan keranjang di depannya itu sudah dinaiki Venus dengan mantap. Ia menjumputkan rambutnya kebelakang, lalu mengikatnya dengan kuncir hitam yang selalu ia taruh di pergelangan tangannya. Sesudahnya tangan Venus mencengkram stang sepedah dengan erat. Ia melirik kearah Lego yang masih saja terdiam di tempatnya.
"Buruan naik." Tentu, Venus sudah tau kalau Lego tak bisa mengendarai sepedah. Jadi tanpa di minta, gadis itu sudah terlebih dahulu duduk di jok depan. Membiarkan Lego nantinya mengisi jok tambahan di belakang.
"Gue gak naik."
"Lah terus?" Sebelah alis Venus terangkat bingung.
"Gue lari. Lo di samping gue pake sepedah." Tuturnya dengan raut wajah yang sulit di artikan.
Sengaja Lego mengajak Venus untuk menemaninya berlari. Ia ingin tau sampai di mana kekuatan paru-parunya itu jika di pakai olahraga. Lalu fungsi Venus adalah memboncengnya ketika Lego tak kuat lagi berjalan. Semuanya seperti sudah tersusun mantap oleh lelaki itu hanya dalam waktu 1 menit setelah ia mengetahui kalau paru-parunya bermasalah.
"Yaudah." Gadis itupun langsung menatap kedepan. Sebelah Kakinya sudah ia letakan di atas pedal bersiap mengayuh sepedahnya.
Ketika Lego akhirnya berlari, gadis itupun dengan segera berusaha mengimbangi. Mensejajarkan sepedahnya dengan gerakan Lego yang cukup cepat. Siapa yang tidak tau kalau Lego selalu menang dalam lomba berlari saat jam pelajaran olahraga? Pak Mahmud selalu memujinya, ingin sekali mengikut sertakan Lego pada perlombaan besar. Tapi Milea tak pernah mengizinkan. Ia selalu memprotek Lego dari segala jenis olahraga.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Teen Fiction•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...