Kenapa aku berada di sini? Kenapa mereka menurunkanku, kenapa tidak ku menetap di langit? Mereka bilang agar aku bisa menjaga. Mereka bilang agar aku belajar caranya berjuang.
Untuk menjadi tangguh.
Untuk hidup.***
"MASUK."
Tak biasanya Deva mendapat ketukan di pintunya dan orang yang berada di depan sana tidak juga masuk. Biasanya suster-suster akan langsung membuka pintu itu begitu saja setelah mengetuk. Namun sekarang sedang jam istirahat, itu artinya Deva sedang tidak bertugas. Bahkan jas putihnya sudah ia lepas dan ia sampirkan di punggung kursi rodanya.
Pintu cokelat itupun terbuka kini Deva bisa melihat sahabatnya itu masuk dengan wajah kusutnya, sudah beberapa hari ini Deva melihat tampang itu jadi ia sudah tidak keheranan lagi.
Deva yang sedang bersandar pada meja sambil memakan kebabnya itupun menggerakan kepalanya, "kenapa Jav?" Ucapnya tidak terlalu jelas karena segigit kebab masih berada di mulutnya.
"Lo sibuk?" Tanya Javier seolah ia tak melihat kalau Deva sedang bersantai.
"Emang gue keliatan sibuk?" Deva meletakan kebabnya yang tinggal setengah di atas meja kemudian menenggak air dari botol minum yang selalu ia bawa atas perintah Thalita. "Kenapa sih? Jadi sok formal gitu nanya gue sibuk apa enggak."
Javier melangkah mendekat, meski ragu-ragu namun ia sudah memikirkan rencananya ini dengan sangat matang tepat sedetik setelah Lego membuka matanya. "Okey, jadi gini, gue butuh bantuan lo. Gue gak tau gimana harus ngomongnya cuma jantung gue bermasalah. Ini udah lama tapi gue gak pernah berobat sama sekali."
Deva langsung terkesiap, tiba-tiba raut wajahnya berubah khawatir.Tentu saja karena Deva tak pernah di beritahu soal penyakit Javier. Lelaki itu langsung menarik lengan Deva, dengan jari jempolnya ia menekan pergelangan tangan Javier mencari letak nadinya dan ketika mendapatkannya ia mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam tangannya. Menghitung berapa banyak denyutan dalam semenit.
"Iya, gak normal, lebih cepet dari yang seharusnya." Ucap Deva melepaskan tangan Javier dan mengamati wajahnya lekat. "Mau scan atau—"
"Gak usah. Gue udah tau," sergahnya cepat. "Penyempitan pembuluh darah ke jantung. Gue udah pernah cek, dulu waktu SMA."
Mata Deva langsung membulat sempurna, "SMA? Lo udah gila ya? Dan dari SMA itu jantung lo gak pernah di urus? Kalo pembuluh darah lo menyempit, itu bisa nyumbat alirannya. Yang ada darah lo gak bisa masuk sama keluar dengan baik. Gila lo ya?"
"Iya gue tau, gue cuma gak mau di otak-atik lagi kaya robot Dev, gue manusia. Dan gue gak mau sampe jantung ka Jeni sampe di ambil dari tubuh gue. Ini satu-satunya peninggalan dia buat gue." Javier menjelaskan alasannya dengan penuh emosional, yang menurut Deva justru gila. Alasan apapun seharusnya tak membuat Javier membiarkan kesehatannya buruk begitu saja.
"Lo udah gila. Kalo lo gak ngobatin itu jantung, yang ada bukan jantung Kak Jeni doang yang di ambil, nyawa lo juga di ambil sama tuhan." Ketus Deva kesal. Selain Javier adalah teman baiknya, ia juga seorang dokter yang tak ingin melihat orang lain merenggang nyawa karena perbuataannya sendiri.
"Karena itu gue ngomong gini ke lo Dev. Gue gak mau mati sekarang."
"Jadi maksud lo, sebelom hari ini, lo berniat mati? Gila yah, otak lo dimana sih Jav, heran gue." Deva terus mengomel seolah apapun yang Javier katakan adalah sebuah kesalahan.
"Udah kenapa sih, itu kan dulu. Ya anggep aja dulu gue masih bego. Sekarang gue mau sembuh. Gue bakalan lakuin apa aja asal bisa sembuh, tapi kalo bisa, gue gak mau transplantasi lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Teen Fiction•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...