"Venus ish! Bangun!"
Suara kencang, juga guncangan di tubuhnya itu membuat Venus akhirnya membuka matanya. Kepalanya terasa begitu berat, dan napasnya tersenggal. Seingatnya ia pingsan di ruang ICU, dan Lego...
"Lego mana?" Gadis itu sampai terduduk di tempat tidurnya dan melihat kesekitar. Namun bukannya ruang ICU yang di dapatinya, melainkan kamarnya sendiri.
"Kok jadi Lego? Lo mimpiin Lego ya? Hayo ngaku?" Suara itu menyadarkan Venus kalau ada orang lain yang berada di kamarnya. Gadis itupun langsung menoleh kesamping kirinya dan seketika mata Venus membulat sempurna. Ia sampai memandangi gadis itu dari ujung kepala, hingga ujung kakinya. Tak percaya dengan apa yang di lihatnya itu.
Melihat Venus yang terlihat aneh, gadis itupun langsung menyentuh bahu Venus dan menggoyang-goyangkannya pelan. "Wah flu lo parah banget ternyata ya."
"Rachel!" Teriaknya kencang hingga gadis di sampingnya menutup telinga dengan kedua tangan. "Lo Rachel? Gimana bisa? Tapi gue kan.. Lo kan udah—Gue udah mati ya?" Gadis itu langsung mencubit tangannya sendiri dan ia langsung meringis perih. Tidak hanya sekali, bahkan ia mencubit tangannya berkali-kali hingga menimbulkan bercak merah di sana. Seolah ia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Gadis di sampingnya itupun langsung meletakan punggung tangannya di kening Venus, dan ternyata benar, gadis itu masih demam, "Wah iya Ven, panas. Jadi kaya orang linglung gitu lo ya. Gila, parah banget flu lo kali ini."
"Eh tapi lo belom jawab pertanyaan gue! Gak suka ya gue udah ngobrol panjang lebar, lo malah tidur. Lama lagi kan tuh gue ceritanya, jangan-jangan lo gak dengerin semua yang gue bilang ya?"
Meski masih kebingungan, namun Venus akhirnya berucap, "Emang lo cerita apa?"
"Ih tuh kan, lo gak dengerin gue! Ah parah ah! Tadi tuh gue nanya gimana sih cara ngadepin Lego kalo dia lagi sakit, dia lagi marah, dia lagi seneng, atau dia lagi sedih versi lo tuh gimana? Karena gue yakin banget, kalo dia tuh bakalan—"
"Tunggu. Tunggu.. Ini tahun berapa?"
"Lo kenapa sih Ve, kok an—"
"Jawab aja Acel!"
"2014lah, lo bukan putri tidur yang tidurnya sampe—Eh Ve! Mau kemana?" Rachel tersentak saat melihat sahabatnya itu bangkit dari atas tempat tidur, padahal ia masih sakit dan seperti orang kebingungan begitu.
"Ke Lego."
"Ngapain?"
Venus baru ingin melangkah begitu ia ingat sesuatu. Ini 2014, Rachel masih hidup dan semua yang ia lihat hanyalah mimpi. Itu artinya Lego memang baik-baik saja, tapi Rachel juga berada di sana dan gadis itu mencintai Lego. Venus tak mungkin melangkah pergi sesukanya menemui Lego. Karena apapun yang sekarang berada di kepalanya bukanlah kenyataan. Jadi gadis itu buru-buru berbalik dan menatap Rachel dengan lekat.
"Cel, gue tau lo bakalan benci banget sama gue abis ini, tapi gue—akh! Intinya gue suka sama Lego. Dia nembak gue dan gue tolak karena gue mikirin perasaan lo. Tapi buat sekarang gue gak bisa Cel. Gue sayang sama dia dan gue minta maaf banget sama lo."
Rachel memang tersentak, terlihat dari sorot matanya yang memiliki retina cokelat terang. Namun tak butuh waktu lama sampai akhirnya Venus melihat Rachel mengulas senyuman cantik di bibirnya, bukan jenis senyuman yang di paksakan, Venus kenal betul senyuman itu, "Akhirnya lo mau jujur."
Gadis itu ikut turun dari tempat tidur kemudian memeluk Venus erat, "Jagain Lego ya. Gue yakin lo bisa bahagiain dia."
"Lo gak marah?" Rachel merenggangkan pelukannya supaya ia bisa melihat wajah Venus dengan lekat. "Gak usah lebay. Gue lebih sayang sama persahabatan kita dari pada sama itu cowok. Lagian, gue tau diri kali. Lego sukanya sama lo, jadi gue gak mau maksain dia buat suka sama gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Teen Fiction•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...