SEPASANG sepatu convers itu bergerak gerak dengan arah yang berlawanan, jika sebelah kanan ke depan maka sebelah kirinya kebelakang. Oriza terus memainkan kakinya yang menggantung karena ia terlalu pendek untuk menapakan kakinya.
Di sampingnya Lego juga ikut duduk, bedanya Lego bisa menapak dengan sempurna. Sekarang jam pelajaran dan mereka berdua hanya bisa menyaksikan dari pinggir lapangan. Tadi pagi Javier sudah berbicara dengan kepala sekolah serta walikelas Lego agar mereka mengizinkan Lego untuk tak mengikuti pelajaran olahraga, yang tentunya sudah di sampaikan juga pada Pak Mahmud yang sudah menduga ada yang tak beres dengan muridnya yang satu itu. Sementara Oriza tidak ikut olahraga karena belum mendapatkan seragam olahraganya.
"Nih, kalo bolanya masuk 3, kasih 80. Tapi kalo cuma 2 atau 1, tulis aja 75." Pak Mahmud menyerahkan absensi yang juga berfungsi sebagai buku nilai kepada Lego. Guru olahraganya itu akhirnya menemukan cara agar Lego tetap ada kerjaan walaupun anak itu tak mengikuti olahraga.
Lego pun menganggukan kepalanya mengerti.
"Kamu," mata Pak Mahmud berpindah pada Oriza, "Kamu pegang timer. Masing-masing anak cuma 10 menit buat masukin bola. Kalo ada yang lebih langsung stop aja. Kalo ada yang belum 10 menit tapi udah masuk 3 bola, di stop juga timernya. Langsung ganti yang baru." Ujarnya menjelaskan sambil memberikan arahan cara menggunakan stopwatch yang kemudian ia berikan kepada Oriza begitu anak itu menagangguk paham.
Pak Mahmud pun langsung berjalan ketengah lapangan sambil meniup pluit untuk mengumpulkan para siswanya yang asik sibuk sendiri.
"Bagus deh lo masih ada kerjaan. Gak makan nilai buta." Ucap Oriza memainkan alisnya.
"Apa coba makan nilai buta."
"Plesetan makan gaji buta." Jelas Oriza.
"Ha! Lucu banget." Ujar Lego dengan wajah datarnya mematap Oriza. Membuat yang di tatap langsung memalingkan wajahnya sambil bergumam sesuatu yang Lego tak tau apa.
Lego menolehkan kepalanya ke arah lapangan melihat keceriaan yang terlukis di wajahnya, mengingatkan bagaimana dirinya dulu. Lego selalu dapat nilai tertinggi setiap jam pelajaran olahraga. Ia jago basket, larinya cepat, selalu membobol gawang tiap futsal, lemparan Volinya bagus. Kadang Lego masih merasa aneh kenapa dirinya yang jago olahraga itu sekarang malah di larang untuk melakukannya. Lego merasa kalau dirinya sekarang bukanlah dirinya yang sebenarnya.
"Go!" Sebuah tangan tiba-tiba mendarat di bahunya, Lego pun langsung mendongak sehingga kedua matanya langsung bertemu dengan mata cokelat Venus, "Gak olahraga?" Tanya Venus.
Lego menggeleng, "Lupa bawa baju olahraga." Meski tidak begitu percaya dengan ucapan anak itu Venus tetap menganggukan kepala.
Priittt!
Bunyi pluit dari gurunya itu serempak membuat keduanya menoleh. Pak Mahmun menggerakan tangannya menyuruh Venus untuk segera masuk ke lapangan karena pemanasan akan segera di mulai. Anak itupun langsung menepuk bahu Lego 2 kali sebelum ia berlari memasuki lapangan.
"Mau sampe kapan boong?" Oriza tau-tau membuka mulut.
"Sampe gue sembuh, jadi dia gak perlu tau kalo gue sakit." Jawab Lego tanpa menoleh sedikitpun, pandangannya terpaku pada gadis yang sedang menggerak-gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan yang di contohkan Pak Mahmud. Sesekali entah mengapa Lego merasa gadis itu juga melirik kearahnya, membuat senyumnya mengembang.
Dan di sampingnya, Oriza langsung tertunduk kepalanya memutar memori tadi malam saat ia mengobrol dengan Ayahnya. Saat Ayahnya itu berkata, kalau kemungkinan Lego sembuh sangat kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Ficção Adolescente•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...