Mimpi Buruk

8.2K 722 40
                                    

Bunda...

Milea langsung terbangun tersentak begitu suara Lego tiba-tiba terdengar di telinganya begitu kencang seolah anaknya itu berada di sampingnya. Milea langsung terduduk dan menoleh ke arah sekitar. Ia berada di kamarnya dan yang berada di sampingnya tentulah Javier. Bahkan lelaki itu sampai ikut terbangun karena gerakan tubuh Milea yang mengusiknya.

"Kenapa Mil?" Tanya Javier dengan suara seraknya, lelaki itu mengusap matanya yang masih terasa berat dan enggan di bka.

Milea pun menggelengkan kepalanya, "Gak apa-apa, lo tidur aja." Wanita itu menyimbakan selimut yang menutupi tubuhnya kemudian menurunkan kedua kakinya, membuat Javier bertambah bingung. "Mau kemana?" Tanyanya.

"Liat Lego bentar, perasaaan gue aneh." Kata Mamanya dulu, perasaan seorang ibu sangat peka terhadap anaknya. Meski sebenarnya dari arah kamar Lego, tak mungkin suara anak itu terdengar sampai kamarnya. Apalagi Javier terlihat seperti tak mendengar apapun, jadi bisa saja itu hanya mimpi. Namun Milea belum tenang kalau belum memastikannya langsung.

"Mau gue temenin?" Tanya Javier lagi, lelaki itu sudah bersiap turun dari kasur ketika Milea langsung menolaknya, "Gak usah, lo tidur aja lagi."

Milea pun langsung buru-buru keluar dan menutup pintu kamarnya tanpa melihat atau mendengar jawaban dari Javier. Ia tak ingin Javier terganggu tidurnya, karena besok pagi ia harus pergi ke kantor. Lagi pula bisa saja perasaan Milea ini salah bukan?

Langkahnya begitu cepat menuju pintu kamar yang berada di lantai yang sama dengan kamarnya, dengan hati-hati Milea membuka pintu kamar itu perlahan. Dan betapa terkejutnya Milea ketika mendapati Lego sedang terduduk di atas tempat tidurnya sambil menundukan kepalanya, meletakan kepalanya di atas lipatan kakinya.

"Go?" Panggil Milea hati-hati. Anak lelaki itupun langsung mengangkat kepalanya memandangi Milea. Dan meski lampu kamar itu tidak menyala, Milea dapat melihat raut wajah Lego yang kusut, matanya yang sembab, bahkan air mata masih mengalir deras di kedua pipinya.

Langkah Milea pun di percepat, ia segera memeluk Lego dan ternyata anak itu juga membalas pelukannya dengan erat. Kini Milea bisa mendengar isak tangis anak itu yang membuat deru napasnya tidak beraturan. Untuk beberapa menit, Milea membiarkan putra sematawayangnya itu menumpahkan segala perasaan di bahunya.

Namun ketika Milea mendengar napas Lego semakin berat, wanita itupun langsung menjauhkan tubuh putranya agar dapat melihat wajahnya. Di tangkupkan kedua telapak tangannya ke pipi Lego, sesekali Milea menghapus air mata Lego dengan jemarinya, "Hei.. Hei.. udah dong nangisnya."

"Bu-Bun.. Le-go takut." Ucapnya terbata-bata, membuat deru napasnya mulai tidak terkendali.

Milea pun langsung menjulurkan tangannya mengambil ponsel Lego di atas nakas dan menghubungi Javier, memerintahkan suaminya itu agar segera datang ke kamar Lego. Milea tak mungkin meninggalkan anaknya dalam keadaan seperti ini, meski hanya untuk keluar sebentar untuk memanggil Javier.

Dan tak ada hitungan menit, Javier langsung muncul dari depan pintu kamar Lego, meski wajahnya terlihat sangat mengantuk namun semburat kekhawatiran tercetak jelas di air wajahnya. "Kenapa?" Tanyanya.

"Pasangin Oksigen cepet!" Perintahnya yang langsung di kerjakan Oleh Javier. Lelaki itu pun langsung menyalakan oksigennya dan memakaikan masker oksigen tersebut kepada Lego.

Milea langsung berpindah tempat, dari yang tadinya berada di hadapan Lego, kini ia berpindah kesampingnya agar dapat merangkul Lego dan anak itu bisa bersandar di dadanya. Dengan lemvut Milea mengusap-usap lengan dan pipi Lego agar anak itu bisa sedikit lebih tenang.

"It's Okay baby, itu cuma mimpi. it's okay Go, it's okay." Ucapnya berkali-kali seolah mencoba untuk meyakinkan Lego bahwa semuanya aman, semuanya akan baik-baik saja karena Milea sudah berada di sana. Secara berangsur-angsur, Lego pun menjadi lebih tenang. Ia berhenti menangis dan mulai mengatur napasnya.

"Lego gak mau mati Bun." Meski terdengar samar karena memakai masker oksigen, namun baik Milea ataupun Javier dapat mendengarnya dengan cukup jelas, cukup jelas untuk menampar diri mereka sendiri, mengingatkan mereka kalau Lego sakit. Kalau Lego cepat atau lambat akan pergi, dan anak itu belum siap. Bahkan Milea dan Javier pun tak pernah siap.

Javier pun langsung menggengam tangan Lego dengan erat, membuat anaknya melirik kearahnya, "Hei, siapa sih yang bilang kalo kamu bakalan meninggal? Ayah janji bakalan lakuin yang terbaik sayang. Ayah janji." Lego pun menganggukan kepalanya, menyadari kalau orang tuanya pasti akan berjuang bersamanya.

Entah apa yang akan terjadi kedepannya, yang Lego tau hanyalah; ia tak boleh menyerah.

***

"Gimana Dev?" Suara Milea di buat rendah karena Lego baru saja tertidur setelah semalaman ia tak bisa tertidur meski Milea sudah membuatkannya susu cokelat, namun anak itu menolak untuk tidur. Ia benar-benar takut mimpinya tentang kematian akan terulang lagi.

Dan baru jam 7 pagi, Lego akhirnya sudah tak kuat lagi menahan reaksi obat yang membuatnya mengantuk berat, hingga akhirnya tertidur. Sepanjang malam Milea terus mengajak Lego mengobrol untuk mengalihkan pikiran anak itu dari mimpinya. Javier juga tidak tertidur, seolah bersiap kalau kondisi Lego menurun tiba-tiba, maka ia akan langsung membawa anak itu ke rumah sakit.

Namun karena kondisinya terlihat membaik, Milea dan Javier pun memutuskan untuk menelpon Deva daripada membawa putranya ke rumah sakit. "Kelelahan. Badannya agak demam, mungkin karena semalem dia gak tidur dan karena dia tertekan juga. Ini wajar kok buat pasien yang punya penyakit separah ini. Tapi gue liat Lego kuat. Banyak yang gak kuat nerima kenyataan sampe akhirnya stress dan butuh terapi. Tapi Lego udah bisa tidur begini, berarti dia udah sedikit tenang."

"Apa dia harus di terapi juga?" Tanya Javier, wajahnya sudah pucat karena tidak tidur semalaman. Bukan hanya Lego, kebenarnya Javier juga tak boleh kelelahan. Namun segala sesuatu yang menyangkut putranya itu bagi Javier adalah sesuatu yang harus di nomer 1-kan di banding dirinya sendiri.

Deva melirik Lego yang tertidur pulas kemudian kembali melemparkan pandangannya kepada Javier, "Gue rasa gak perlu." Jeda, "Tapi kalo hal kaya gini berkelanjutan, berarti Lego emang harus konsultasi ke pskiater. Yang pasti kalian harus awasin dia terus. Apa lagi lo bilang dia nangis sampe sesek napas, gue takutnya dia pingsan dan lo berdua gak tau. Itu bahaya banget, karena kalo udah sesek, Lego harus di bantu oksigen cepet-cepet."

Mile alangsung memijit pangkal hidungnya. Untung saja ia mengikuti perasaannya semalam, kalau tidak, ia tidak tau bagaimana nasip anaknya sekarang. "Makasih Dev."

"Dan sekarang, karena Lego udah tidur. Kalian berdua juga harus istirahat. Jangan sampe malah kalian yang tumbang. Gak bagus juga nanti buat Lego." Mereka berdua pun saling menatap sekilas sebelum akhirnya menganggukan kepalanya.

"Dev, gue butuh presentase." Ucap Javier tiba-tiba membuat suasana ruangan itu mendadak jadi dingin dan sesak. "Presentase apa?"

"Presentase dia buat sembuh."

Deva langsung tertegun, tak tau apa yang harus ia katakan. Meskipun Javier adalah sahabatnya, ia tetap tak bisa membicarakan hal itu secara gamblang, lebih tepatnya lagi Deva tak berani memprediksi itu semua, apalagi memprediksi umur Lego. Meski sudah ada angka di kepalanya, Deva tetap tak bisa mengatakannya.

"Gue gak bisa ngasih presentase apapun ke lo berdua. Semua tergantung tuhan Jav. Dan lo tau sendiri kan? Kanker itu kaya PR buat semua dokter yang ada di dunia. Belom ada obat pasti yang bisa nyembuhinnya. Kita cuma bisa menahan perkembangan sel, bukan ngilangin. Jadi untuk sekarang, let's just said 50:50."

***

Selamat bobok semuanyaa...

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang