Oriza dan Venus [Spesial Part]

5.5K 600 78
                                    

TAK banyak yang lelaki berusia 9 tahun itu lakukan ketika melihat wajah lelah dan marah Ayahnya begitu menjemputnya. Yang aneh karena Oriza tidak menangkap kecemasan di wajahnya, sangat berbeda dengan tatapan wajah Milea dan Javier.

Deva tidak mengatakan apapun, bahkan ketika mereka sudah memasuki mobil dan berjalan sekitar 15 menit. Oriza sendiri tampak enggan untuk memulai percakapan. Suasana yang hening itu bertambah sepi setelah Deva membayar tol dan jalan begitu lenggang. Mendadak Oriza merasa tak nyaman di tempatnya.

"Kenapa sih, kamu selalu bertingkah semaunya?" Tanya Deva mulai memecah keheningan, "Papa tau kalo ini semua kemauan Lego, Papa tau. Tapi bisa gak sih, senggaknya kamu kasih kabar? Mama tuh khawatir banget sama kamu."

"Iya, cuma Mama kan yang khawatir, Papa mah gak peduli." Jawabnya tanpa menoleh sedikitpun, kedua tanganya di lipat ke depan dada sambil memandangi jalan.

"Kamu tuh ngomong apa sih? Kalo Papa gak peduli, gak bakalan Papa jemput kamu sampe ke Bogor gini Ri." Oriza tidak menjawab karena di dalam hati ia masih kukuh dengan ucapannya, dengan pendapatnya kalau Deva tidak pernah peduli dengannya.

"Pak Joko Papa pecat."

Seketika Oriza pun langsung menoleh ke arah Papanya dengan emosi yang mulai naik, "Papa apaan sih? Pak Joko gak salah apa-apa. Ori yang salah."

"Bagus deh kalo kamu sadar." Deva melirik anaknya sekilas sebelum membuka jendela dan membayar gate tol terakhir sebelum keluar dari jalan tol.

"Papa pecat Pak Joko dari supir pribadi kamu, tapi Pak Joko bakalan jadi supir Mama mulai hari ini. Dan kamu," Deva menoleh ke arah Oriza sekilas sambil memperhatikan jalan di sisi kiri, "kamu bakalan Papa anter jemput mulai sekarang."

Deva memutar stirnya, menginjak gas perlahan-lahan ketika keluar dari kawasan tol dan masuk ke jalan raya biasa. Ia tidak memperdulikan ocehan anaknya yang protes dengan kebijikan baru yang Deva buat. Namun keputusan Deva sudah final. Oriza terlalu sering berbuat semaunya dan membuat seisi rumah khawatir. Kali ini Deva lelah.

Menyadari Papanya tak akan berubah pikiran, Orizapun menyerah. Di sandarkan tubuhnya di jok mobil, terdiam sambil menahan air matanya agar tidak tumpah.

"Kamu tau kalo Papa sama Mama lagi pusing karena Joy sakit? Papa sama Mama cuma minta kamu buat diem aja di rumah, jangan bikin masalah." Mendengar ucapan Deva, Oriza pun langsung mengeluarkan ponsel yang masih terhubung dengan headset. Lelaki itu langsung mengenakannya dan menyalakan musik dengan volume besar.

Deva yang sedang fokus ke depan pun tak menyadari yang di lakukan anaknya dan terus saja membicarakan hal yang tak ingin Oriza dengar, semua itu berhubungan dengan Joy. "Joy sampe maksa keluar dari rumah sakit karena pengen nyari kamu. Joy itu sayang banget sama kamu Ri, kenapa sih kamu malah jauhin dia selama ini? Kalo Papa jadi kamu. Papa bakalan jaga Joy lebih dari apapun. Kamu denger Papa gak?"

Deva terdiam sejenak, namun saat tak di dapatinya jawaban dari anaknya itu, Deva pun langsung menoleh. Amarahnya langsung naik melihat kelakuan anaknya. Ia pun langsung memutar stir dan menepikan mobilnya.

Deva langsung menarik headset di telinga Oriza kasar hingga anak itu terentak kaget. "Kamu tuh kurang ajar ya lama-lama? Papa gak pernah ya ngajarin kamu buat dengerin musik saat orang tua lagi ngomong."

"Emang Papa pernah ngajarin Ori? Joy mulu kan yang di perhatiin." Ucapan putranya itu lansung membuat Deva mengepalkan tangannya. Dari pada memukul Oriza, yang ia bisa lakukan adalah memukul stir mobilnya, hingga suara klakson yang memekakan telinga itu terdengar.

"Papa marah sekarang? Kenapa? Karena omongan aku bener, kan?" Ujar Oriza tanpa takut sedikitpun.

"Cukup ya Ri. Papa lagi pusing mikirin Joy, jadi Please, jangan bikin Papa tambah pusing." Deva memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut sakit.

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang