DINGINYA malam mengelimuti tubuhnya yang hanya berbalut kaus tipis sudah tak ia hiraukan lagi. Ia hanya berjalan. Terus berjalan meski kakinya sudah pegal dan ia mulai lelah.
Kedua tangannya bersilang mengelus lengan satunya seolah sedang memeluk diri sendiri berusaha mengusir dingin. Namun terasa sia-sia, karena dingin terus mencabik-cabik tubuh kurusnya. Ia tak bawa apapun. Ponsel ataupun dompet ia tinggalkan semua di dalam kamar.
Sebenarnya Ia tak marah sama sekali dengan kedua orang tuanya. Satu-satunya yang ia benci hanya dirinya sendiri. Rasanya Lego tak ingin lagi menjadi dirinya sendiri. Ia ingin sendiri dulu sekarang, menuntaskan rasa bersalah dan memerangi batinnya.
Hingga kedua kakinya lemas tak sanggup lagi melangkah. Lego terjatuh di atas aspal dingin yang kasar. Lelaki itu mencoba bangkit namun tidak bisa. Lagi-lagi penyakit sialan itu kambuh. Anak itu terbatuk berkali-kali, dadanya benar-benar sesak. Ia butuh obatnya. Ia butuh oksigennya. Tapi ia mencoba melawannya karena ia merasa tak pantas lagi untuk hidup.
Dari pada hidupnya hanya menyusahkan dan membuat orang tuanya bertengkar. Lego lebih memilih mati.
Matanya berkali-kali terpejam kemudian terbuka lagi menahan nyeri di dadanya. Pandangannya sudah kabur entah kemana meski ia masih bisa membuka kelopak matanya. Perlahan-lahan tubuhnya runtuh. Ia berbaring di atas aspal tanpa tenaga.
Tangan kanannya langsung bergerak menutup mulutnya saat lagi-lagi ia terbatuk dasyat. Ada rasa aneh yang kini memenuhi rongga mulutnya. Lego mengangkat tangannya tinggi sehingga ia bisa melihat cairan kental berwarna merah sudah memberi jejak pada telapak tangannya. Darah.
Apa ini akhirnya?
Tanyanya lebih kepada dirinya sendiri sebelum matanya terpejam sempurna. Mungkin sebentar lagi ia akan bertemu dengan Rachel.
***
"Hai, ini Venus. Tinggalin pesan setelah bunyi biip."
Biip!
Roka langsung membanting ponselnya ke lantai, kesal karena Venus tak juga menyalakan ponselnya. Gadis itu menghindar, entah karena apa. Memang terakhir kali mereka bertemu keadaannya sedang kacau. Mereka bertengkar, namun bukan berarti sampai dua minggu lebih seperti ini Venus terus menghindarinya.
Lelaki itupun membiarkan ponselnya tergeletak mengenaskan di lantai dengan posisi baterai yang keluar dari ponselnya. Roka sudah tak peduli dengan apapun lagi, terlebih kalau sudah berhubungan dengan gadis itu.
Roka langsung mengambil kembali kunci mobil di atas tempat tidurnya dan segera pergi meninggalkan rumah. Untung saja Keluarganya sedang berada di bogor, sehingga tidak ada yang memarahi Roka karena keluar jam 10 malam seperti ini. Tentu saja tempat tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah rumah Venus.
Laju mobilnya tidak stabil, ia benar-benar mengebut dan seolah mendukungnya, jalanan hari ini terasa lenggang.
Hingga matanya menyipit ketika melihat ada orang yang tergeletak di pinggir jalan. Jalan itu cukup sepi. Memang kalau sudah malam seperti ini jalan pintas menuju komplek rumah Venus memang selalu sepi.
Tadinya Roka ingin mengacuhkannya karena ia pikir itu hanya orang gila yang tidur di pinggir jalan. Namun ketika mobilnya berjarak cukup dekat dengan seseorang itu, Roka bisa melihat bercak darah di mulut dan telapak tangannya. Apa itu korban kecelakaan? Apa dia mati?
Mobil Roka mulai melambat ketika melewati tubuh orang itu. Ia ingin sekali pergi begitu saja karena ia tak ingin terlibat masalah apapun, terlebih kalau ia sampai di kira pelaku tabrak lari. Namun Roka tidak tega. Dulu adik laki-lakinya pernah mengalami kecelakaan dan tidak sengaja Roka memang sedang melewati jalan itu. Kakaknya hanya di biarkan tergeletak begitu saja di jalanan. Roka tak suka itu. Jadi mengapa ia melakukannya pada orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Teen Fiction•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...