Selamat Pagi matahari, embun dan harapan

6.1K 609 112
                                    

JAVIER tersentak dari tidurnya yang damai ketika ponselnya berdering nyaring. Ia mengerang kesal sendiri karena lupa mematikan ponselnya. Sementara di sampingnya Milea itu terbangun karena bunyi itu tak kunjung hilang.

"Jav angkat dong, berisik." Milea menepuk-nepuk pelan lengan Javier berupaya membangunkan suaminya itu.

"Paling orang iseng." Gumamnya masih dengan mata terpejam, ia mengambil kesimpulan sendiri karena ia tau kalau sekarang masih sangat pagi, jam 3 pagi mungkin.

"Ih di liat dulu, siapa tau penting." Kali ini Milea mendorongnya dengan kencang hingga Javier membuka matanya karena tubuhnya hampir terjatuh.

"Ih yaAllah Javier ngantuk." Rengeknya seperti anak kecil. Ia melirik Milea yang ternyata sudah kembali memejamkan matanya membuat Javier mendengu kesal.

Ia langung mengambil ponselnya di atas nakas berniat untuk mereject sebelum akhirnya mematikan ponselnya. Namun niatnya itu sirnah begitu nomer Papinyalah yang tertera di layar. Javier dari yang tadinya mengantuk, seketika kantuknya langsung menghilang, lenyap tak bersisa.

Ada apa?

Javier pun langsung bangkit dari tempat tidurnya, bahkan lelaki itu langsung membuka pintu balkon kamarnya yang kebetulan berada di lantai dua. Ia pun mendekatkan ponselnya setelah sambungan telpon itu terjalin sambil memandang ke arah taman Villa yang luas.

"Hallo Pap. Kenapa nelpon malem-malem gini?"

"Gimana Lego? Kenapa kamu gak pernah kabarin Papi?" Pertanyaan Papimya itupun membuat Javier terkejut, ia melempar pandangannya ke langit lepas yang saat itu tak berbintang. Sebenarnya Javier tidak pernah lagi melibatkan orang tuanya, karena ia tak ingin membebani mereka dengan masalah yang seharusnya hanya Javier yang menanggungnya.

"Maaf Pap."

"Sekarang kamu lagi di mana? Papi telpon ke rumah gak ada yang angkat." Memang Javier tidak menitipkan rumahnya kesiapapun, ataupun menyuruh orang untuk menjaga rumahnya untuk sementara waktu, ia hanya menguncinya saja. Lagi pula Satpam komplek selalu berpatroli tiap malam, menjaga rumah-rumah.

"Di bandung Pap. Kita lagi liburan, ada temen-temen Javier juga." Lelaki itu mengusap hidungnya sebelum kembali bersuara "Papi masih di Jerman?" Perusahaan Papinya memang sedang mencoba untuk merambah mancanegara, dan sebelum Javier hengkang dari perusahaannya, ia memang merencanakan untuk membuka cabang baru di Jerman. Dan salah satu karyawannya memberikan kabar kalau seminggu yang lalu, rencana itu sedang di realisasikan

"Masih." Jeda beberapa detik, Javier berbalik badan, tubuhnya bersandar pada besi pembatas. Kini yang di lihatnya hanya tirai jendela yang bergerak-gerak saat angin malam berhembus melalui tubuhnya dan masuk kedalam kamar itu. "Javier, Sekali lagi Papi mau tawarin kamu Jav. Dan Papi mohon untuk kali ini, kamu harus pikirin matang-matang."

"Bawa Lego keluar. Entah Belanda, Jerman, Paris, negara manapun yang menurut kamu bagus dan nyaman buat dia. Papi bakalan biayain semuanya, Papi mohon, kali ini pertimbangin tawaran Papi."

Javier menundukan kepalanya memandangi kakinya yang tak beralas, celana oendek yang di kenakannya saat itu, membuat Javier bisa melihat bekas jaitan di kaki kirinya. "Udah gak ada yang bisa kita lakuin Pap. Lego sekarat."

"Apasih maksud kamu? Jangan pernah ngomong kaya gitu!"

Tangan kanan Javier terangkat, memijit pangkal hidungnya mencoba menahan air matanya agar tidak keluar. Lagi-lagi hal itu di bahas, membuat Javier merasakan sakit yang sama seperti saat pertama kali ia mendengar penjelasan Deva, kalau ia menyerah, mengangkat tangan dengan keadaan Lego dan kankernya yang telah menyebar kesetiap titik penting di tubuhnya.

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang