Sebercak tinta di atas kertas putih

7.2K 618 24
                                    

2 tahun yang lalu.

ENTAH apa yang terjadi sampai akhirnya gadis itu merasakan dunianya berhenti untuk beberapa detik, seolah Tuhan sedang menekan tombol pause pada hidupnya saat itu. Lelaki di hadapannya masih memandanginya dengan senyuman penuh harap yang seharusnya membuat ia senang, namun tidak, semuanya berkebalikan.

Ada belati tak kasat mata yang mengiris hatinya pedih di taman komplek hari itu. Padahal sekelilingnya biasa saja. Anak-anak kecil yang berlarian di jaga oleh ibu atau babysitternya. Mobil yang melintas di jalan beraspal. Burung-burung yang hinggap di atas kabel listrik dan juga awan putih yang bergerak perlahan di atas kepalanya. Tidak ada yang aneh, seharusnya.

Namun kata-kata 'Gue sayang sama lo, Ve. Lebih dari apapun yang lo kira selama ini.' Seolah menghancurkan segalanya seketika hingga tak bersisa. Venus ingin memangis atau paling tidak kabur dari sana. Tapi ia justru membeku di sana dengan mata yang berkaca-kaca memandang lelaki itu tanpa jeda.

"Jangan bercanda." Venus tertawa renyah, seolah ucapannya itu adalah harapan, harapan kalau lelaki itu memang sedang bercanda dengannya, seperti yang biasa ia lakukan.

"Gue harus gimana biar lo tau kalo gue gak bercanda, Ve?"

"Kalo lo gak bercanda, ya berarti lo ngaco!" Lelaki itu mengernyit, bingung kenapa Venus malah memgeluarkan nada tinggi seolah ia benar-benar tak suka dengan apapun yang lelaki itu katakan.

Lelaki itu berdecak, kini memalingkan wajahnya. Ekspresi ceria dan penuh harapnya kini berubah jadi raut frustasi. "Apanya sih yang ngaco? Gue sayang sama lo. Ya gue tau kalo gue banyak kurangnya, gue lemah, sakit-sakitan, kadang ego—"

"Jangan pernah ngomong kaya gitu. Gue sayang sama lo!" Segah Venus membuat lelaki itu bertambah bingung. Apa yang sebenarnya gadis ini inginkan? Namun ekpresi Venus langsung berubah dalam hitungan detik, gadis itu menundukan kepalanya sambil berucap pelan, "Sebagai temen. Gak lebih."

Lelaki itu langsung menggenggam kedua tangan Venus dengan erat, manik mata birunya seolah memaku Venus agar tetap berada di tempatnya, memandang kearahnya. "Kasih gue kesempatan untuk buat lo jatuh cinta. Lo tau kan gue egois? Dalam mencintai lo gue bakalan egois, gak peduli apa yang bakalan terjadi nanti, gak peduli apa yang bakalan orang bilang tentang gue, gue bakalan mencintai lo dengan Egois. Supaya lo cuma jadi milik gue, gak ada yang lain."

Air mata itu langsung meluncur dari manik mata cokelat Venus. Kalau saja bisa, ia ingin mengatakan hal yang sama, kalau Venus mencintainya dengan tidak peduli, dengan rasa yang memaksa untuk saling memiliki, dengan keegoisan untuk tidak membiarkan orang lain menyentuh hati lelaki itu selain Venus. Namun ia tetap tak bisa.

Gadis itu menghentakan tangan lelaki di hadapannya dengan kasar, sangat kasar hingga lelaki itu tersentak kaget. "Sorry Go, gue lagi gak percaya komitmen. Dan gue gak bisa ngubah status ini, maaf, tapi persahabatan kita lebih berharga dari rasa cinta lo itu. Please, jangan rusak apapun."

Lelaki itu, Lego, langsung tersenyum pedih. Benar-benar pedih hingga Venus dapat merasakannya juga. Lelaki itu langsung berbalik, pergi meninggalkan taman itu tanpa sepatahpun kata. Venus terpaku di tempatnya, memandangi punggung itu yang kian menjauh dan akhirnya menghilang di tikungan depan. Bersama segala rasa yang harus ia kubur sedalam-dalamnya. Bersama pedih yang tak tertanggungkan.

Dan bersama Rasa yang tak pernah terucapkan.

***

"Ve! Ve! Ve! Sumpah.. Sumpah... Sumpah." Gadis itu berbicara dengan histeris ketika masuk kedalam kamar Venus tanpa mengetuknya terlebih dahulu, membuat pemiliknya yang sedang Flu langsung menggeliat di atas kasur dan memandangi gadis yang masih mengenakan seragam putih biru itu duduk dengan tenang di atas kasurnya.

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang