Torn Apart

6.3K 644 113
                                    

If your heart is made by glass, let me break it into pieces. Because no matter what, i'am going to torn you apart. i can't help it, im sorry.

TERASA seperti de javu, Lego berada di tempat ini lagi. Dengan pakaian rumah sakitnya yang berbalut dengan jaket tebalnya Lego meletakan kedua tangannya di dinding pembatas, ia memajukan tubuhnya sesekali, menatap ke bawah, melihat beberapa kendara bermotor yang berlalu-lalang.

Jika dulu ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya, namun kali ini yang ia pikirkan adalah bagaimana caranya bertahan hidup dengan kondisinya yang bahkan terlihat mati. Apa ini hukuman untuknya, karena tak pernah menghargai hidupnya yang sudah Rachel berikan untuknya?

Lego menggeleng. Tak mau lagi ia menyalahkan takdir. Semuanya pasti sudah di kemas baik oleh petinggi langit. Bagaimana hidupnya bermula dan bagaimana juga akan berakhir. Semakin dekat hidupnya dengan kematian, semakin rasa takutnya menghilang.

Semalam ia memimpikan Rachel dengan gaun putih panjang tersenyum kearahnya dan menjulurkan tangannya. Saat itu juga Lego yakin kalau Rachel datang menjemputnya. Namun segalanya justru berubah dalam hitungan detik, karena Rachel langsung menghilang. Semuanya gelap total, hingga akhirnya Lego membuka kedua matanya.

Memandangi sembab dari mata Milea. Merasakan tangan Bundanya yang langsung memeluknya erat dan mencium keningnya berkali-kali. Lalu Lego menoleh dan melihat Ayahnya terbaring di ranjang satunya.

Segala memori tentang mengapa ia berada di sana pun terputar. Betapa kedua orang tuanya berjuang agar Lego selamat. Membuatnya menyadari segala hal yang sudah mereka lakukan untuknya. Berkorban segalanya.

Lego tak ingin mengecewakan mereka. Lego tidak ingin pergi.

Lelaki itu langsung menengadahkan kepalanya kearah langit. Memandangi awan-awan putih yang bergerak perlahan, air matanya mengalir begitu saja di pipinya. "Hel, bilang tuhan ya, aku masih butuh waktu."

***

"Ternyata lo di sini." Terasa seperti de javu. Jika sebelumnya Venus berada di sana dengan pikiran, kalau lelaki itu akan melompat dan mengakhiri hidupnya, maka Venus juga akan melakukannya. Namun kali ini ia tau, kalau bukan itu yang Lego inginkan sekarang, dan keberadaan Venus di sana berbeda dengan sebelumnya.

"Orang tua lo panik nyariin."

Lego langsung mendengus sambil tersenyum menatap Venus, "Bohong banget, orang Ayah ada di balik pintu." Ya, memang javier berada di balik sana. Setelah mengantar Lego ke atas—meski dengan bantuan tongkat, lelaki itu memutuskan untuk membiarkan anaknya mempunyai waktu sendiri dulu. Namun ia juga tidak mau meninggalkan tempat itu. Dan Lego tau.

Venus pun ikut tersenyum. "Lo gak mau duduk di sini lagi?" Venus menepuk dinding pembatas di hadapannya, tempat dimana dulu dia dan Lego duduk berdua dengan pikiran yang kabur entah kemana.

Lego pun menggelengkan kepalanya, "Kankernya udah nyebar ke syaraf gue. Gue udah gak bisa duduk stabil lagi kaya dulu. Kalo gue duduk di sini, yang ada gue terjun beneran. Berdiri aja harus pegangan kaya gini. kasian ya." Lego tertawa meremehkan dirinya sendiri yang ia anggap sudah tak berguna lagi. Bukan rahasia lagi kalau kanker itu sudah menyebar kemana-mana.

Venus pun langsung membuang pandangannya, matanya memanas dan mengancam untuk mengeluarkan air mata kapan saja, jadi ia tak ingin Lego melihatnya. "Gak lucu."

"Sorry." Lelaki itu menoleh kembali menatap langit. Hal yang selalu membuatnya tenang, hanya dengan menatap langit. Dulu ia sering melakukannya bersama Rachel, di sini, di tempat ini berdua saat Lego sedang drop. Rachel selalu menjadi orang pertama yang mengajukan diri untuk menginap di rumah sakit menemani Lego.

"Ve.."

"Hmm?"

"Cari pacar gih, atau paling enggak balik sama Roka. Gue yakin dia masih sayang sama lo." Venus pun langsung menatap Lego dengan lekat, "Kenapa lo tiba-tiba ngomong gitu?"

Lelaki itu tersenyum, matanya masih tak terlepas dari langit cerah hari itu. Setelah semalaman hujan deras, hari ini langit menjadi cerah dan bersih. Hawa sejuk sisa-sisa hujan membuat matahari terasa tidak terlalu terik, benar-benar cuaca yang pas untuk berada di sana.

Lelaki itu pun menoleh kearah Venus dengan tangannya yang bergerak mengacak-acak puncak kepala gadis itu, "Gue cuma mau mastiin kalo ada yang jagain lo yang bodoh ini, saat gue pergi nanti."

"Lo gak akan kemana-mana, lo gak boleh kemana-mana." Venus langsung menggenggam tangan Lego yang tadinya berada di kepalanya dengan begitu erat.

"Lo gak tau? Semua orang udah nyerah sama penyakit gue. Dan cuma tinggal tunggu waktu sebelom akhirnya gue—"

Venus langsung memeluk tubuh Lego erat. Ia biarkan kepalanya berada di dada Lego, merasakan detak jantung lelaki itu berdetak seperti sebuah nyanyian merdu yang membuat venus tau kalau lelaki itu masih hidup, "Stop! jangan ngomong apa-apa lagi."

"Ve, jangan kabur-kaburan lagi ya kalo gue pergi nanti. Gue takut gak ada yang nyusulin lo dan nemenin lo lagi kaya yang gue lakuin waktu itu. Jangan pernah ngebiarin orang lain ngerubah diri lo lagi ya, tetep jadi Venus yang gue tau, tetep jadi angsa cantiknya gue."

"God, please stop Lego! Jangan ngomong lagi." Air mata Venus sudah mengalir dengan derasnya membasahi dada Lego. Dadanya sesak, mungkin beginilah yang Lego rasakan setiap harinya. Dan Venus benar-benar tak menyukainya.

"Gue sayang sama lo Go, gue mau ikut lo aja. Gu-gue gak mau lo pergi."

Lego tersenyum pedih, ia masih mencoba untuk menahan air matanya agar tidak mengalir, ia tak mau menangis. Ia tak ingin sesak di dadanya semakin bertambah dan akhirnya malah membuatnya tak bisa bernapas dan pingsan. Karena yang Lego inginkan sekarang adalah seperti ini, berada di sini, memeluk venus dan sadar kalau dirinya masih hidup.

"Gue juga sayang sama lo Ve, lo temen gue ter—"

Tiba-tiba Venus menjauhkan tubuhnya dan membuat pelukan itu terurai. Gadis itu menatap Lego dengan mata sembabnya begitu lekat. "Gue sayang sama lo Go, bukan sebagai temen. Gue.. gue cinta sama lo dan itu juga kenapa gue ninggalin Roka. Gue mau jaga lo. Gu-gue.. Gue mau jadi milik lo."

Lego langsung terdiam di tempat, mematung tak tau harus mengatakan apa. Matanya yang mulai memerah terbuka sempurna menatap Venus dengan rasa tidak percaya, setelah selama ini. Setelah semua hal yang sudah terjadi, bahkan Lego tak pernah bermimpi kalau Venus akan mengatakannya.

Kedua sudut bibir Lego pun tertarik membentuk sebuah senyuman penuh arti, Venus pun ikut mengembangkan senyumannya. "Please, jangan cinta sama gue." Senyum Venus pun luntur layaknya tinta yang terguyur air. "Karena sejak hari itu, gue cuma memandang lo sebagai temen Ve. Gak lebih."

Maka lagi-lagi Venus hancur.

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang