SUDAH hampir semalaman Lego menggigil dan panasnya tidak juga turun. Venus langsung membelikan obat penurun panas di apotek terdekat. Namun panas Lego tak kunjung turun. Venus juga sudah mengompres dahi lelaki itu bahkan memeluknya hampir semalaman karena Lego terus mengigau kalau ia kedinginan.
Di saat seperti ini Venus ingin menghubungi kedua orang tuanya atau kedua oang tua Lego, namun Venus takut. Ia belum mau bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia tak siap sama sekali untuk menjelaskan mengapa ia tiba-tiba kabur dari rumah. Dan Venus juga takut kalau kedua orang tua Lego akan memarahinya.
Venus pun membuka pintu cokelat itu setelah membeli bubur untuk Lego dan juga untuknya sarapan. Matanya langsung bertemu dengan mata biru Lego yang ternyata sudah bangun dan duduk di atas tempat tidurnya. Venus langsung menghela napas bersyukur.
Dengan cepat ia langsung mendekati Lego, meletakan punggung tangannya di dahi lelaki itu. Masih sedikit panas, namun tidak separah tadi malam. Wajah Lego juga masih terlihat begitu pucat. Mungkin yang paling membuat Venus panik adalah deru napas lelaki itu yang terdengar tidak karuan.
"Udah enakan?" Tanyanya dengan lembut.
Lego pun menganggukan kepalanya lemas, "Dari mana?" Tanyanya.
Venus langsung mengangkat bungkusan pelastik yang di bawanya agar Lego bisa melihatnya, "Beli sarapan. Makan dulu yuk."
Lelaki di hadapannya itu menggelenng lemah sambil menyentuh perutnya, "Eneg Ve. Gak mau makan."
"Tapi lo harus minum obat, Biar panasnya cepet turun." Venus mengeluarkan sebuah sterofoam dari dalam plastik yang di bawanya, dan membukanya. Ia langsung menyendokan bubur dan mengarahkannya ke mulut Lego, namun Lego menutup mulutnya rapat, "Ayo Go, makan dulu, dikit aja."
"Eneg beneran deh. Yang ada gue malah muntah." Venus pun langsung meletakan kembali sendok itu kedalam mangkuk sterofoam dan mengelus wajahnya frustasi. Lego tak bisa seperti ini terus, ia harus makan dan meminum obat. Namun Venus juga sadar kalau ia tak bisa memaksanya.
"Jangan gini dong Go, gue jadi bingung harus apa." Mata Venus langsung berkaca-kaca dan tentu saja Lego jadi merasa bersalah. Ia merasa merepotkan Venus, menambah bebannya. Padahal seharusnya keberadaan Lego adalah untuk menghiburnya, namun malah seperti ini keadaannya.
"Yaudah gue mau makan, tapi dikit aja ya." Ucapnya karena merasa bersalah. ia sendiri sadar kalau ada 2 obat khusus yang harus di minumnya kalau ia tak mau menambah sakit di dadanya dan malah menyusahkan Venus.
Gadis itupun langsung tersenyum samar, menyodorkan sendok berisi bubur ke arah mulut Lego. Sambil berucap, "Jangan sakit ya Go, kalo lo sakit gue gak tau harus gimana."
***
keadaan Lego semakin baik setelah selesai makan dan juga meminum obatnya. Venus sempat bertanya tentang 2 tabung yang di bawanya itu, dan Lego hanya menjawab kalau itu adalah antibiotik yang biasa ia minum dan Venus pun percaya.
Kini mereka sedang duduk berdua di atas kasur sambil memandang kearah jendela besar di arah utara kamar motel itu. Menyaksikan air hujan satu-persatu berjatuhan dan menghantam bumi. Membuat kaca itu berembun.
"Besok kita pulang ya." Ucap Venus menghancurkan segala keheningan yang tadinya menjambangi mereka berdua.
"Lo yakin?" Tidak sama sekali, namun Venus tetap harus pulang. Ia tak punya tempat tujuan lainnya dan tak mungkin ia terus berada di Jogja, terlebih lagi Lego bersama dengannya. Venus tak ingin ada hal buruk yang terjadi jika mereka terlalu lama berada di sana.
Venus pun menganggukan kepalanya. kemudian kembali hening, 2 pasang manik mata itu kembali memandang kearah jendela. Masing-masing dari mereka menganggap hidup ini tak pernah adil. Untuk Lego yang di beri penyakit mematikan itu. dan Untuk Venus yang di hadapkan pada kenyataan kalau ia bukanlah anak kandung Mama dan Papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Ficção Adolescente•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...