BEBERAPA orang berpakaian serba hitam berseliweran di hadapannya. Beberapa ada yang sedang menangis sambil membawa tisu di tangannya. Ada yang matanya sembab dan berusaha tegar. Ada pula bersikap biasa saja seolah tidak ada jenazah yang berbaring di dalam peti kayu di depan.
Mata Lelaki itu awas, memperhatikan setiap orang yang datang. Terutama seorang wanita yang meraung-laung di samping peti. Beberapa orang mencoba menenangkannya. Lelaki itu sempat menguping kalau yang terbaring di sana adalah anaknya. Oleh sebab itu ibu itu menangis tersedu-sedu.
Rumah duka itu penuh dengan orang-orang yang berduka. Menyadarkan dirinya kalau orang yang meninggal itu sangatlah berharga. Meski beberapa orang di sana terlihat palsu. Namun sebagiann besarnya merasakan duka yang mendalam.
"Sumpah deh Go, gue takut di usir." Gumam Oriza di sampingnya. Untuk beberapa saat ia lupa kalau bocah itu ikut dengannya mendatangi salah satu rumah duka yang dekat dengan rumah Lego. Milea dan Javier tidak tau keberadaan anak itu karena ia tadi pergi diam-diam melalui balkon kamarnya, untuk itu ia mengajak Oriza.
"Lagi ngapain sih di sini? Emang lo kenal sama yang meninggal?"
Lego menggelengkan kepalanya membuat Oriza mendesah dan mengusap wajahnya. "Ya terus ngapain?"
"Gue mau rasain aja, gimana rasanya ada di rumah duka." Jawab Lego tanpa memalinhkan wajahnya. Tatapannya masih lurus memandangi seorang pria yang sedang sibuk dengan ponselnya, wajahnya tidak mengisyaratkan kesedihan, justru malah terlihat terpaksa berada di sana.
"Emang apa yang lo rasain?"
Lego mengangkat bahunya acuh sebelum menoleh ke arah Oriza, "Aneh."
"Yaiyalah! Orang kita gak kenal sama mereka. Bukannya sedih, malah aneh tau gak."
Lego memainkan jemarinya yang saling bertautan di pangkuannya, "Kalo gue nanti meninggal, gue pasti gak bisa liat orang-orang yang sedih nangisin kepergian gue. Makanya gue mau liat sekarang."
"Apaan sih lo. Jangan ngaco."
Tangan Lego bergerak, menunjuk seorang wanita yang tadi meraung-raung, kini tubuhnya lemas di dalam dekapan seorang pria yang Lego asumsikan sebagai suaminya. Mereka berdua menangis penuh kepedihan. "Liat, itu orang tuanya. Gue sempet nguping kalo yang meninggal ini anak satu-satunya mereka. Sama kaya gue."
Tangan Lego bergerak menuju seorang laki-laki yang terduduk tidak jauh dari tempatnya, menundukan kepala sambil menangis. Ia berusaha tegar namun terasa begitu sulit. "Gue yakin itu sahabatnya, kalo dalem hidup gue, cowok itu lo."
"Dan semua orang di sini. Adalah keluarga sama temen-temennya. Jadi kurang lebih, kehidupan dia mirip sama gue."
Otiza berdecak, tak suka dengan omongan Lego yang terdengar melantur kemana-mana. Ayahnya, Deva, sering sekali memberitahukan padanya kalau orang yang sebentar lagi akan pergi, perkataannya suka menjurus tentang kepergiannya. Meski awalnya tidak percaya, karena menurut Oriza, tak ada satu orang pun yang tau kapan ia akan pergi meninggalkan dunia. Namun mendengar ucapan Lego, ia jadi takut sendiri.
"Udah ah. Dari pada omongan lo makin ngaco, Mending kita pergi dari sini sebelom di usir." Oriza menarik tangan Lego mengajaknya pergi.
"Bentar Ri." Lelaki itupun melepaskan tangannya dari tarikan Oriza dan berjalan memuju peti mati yang terletak di ujung ruangan. Oriza tetap di tempatnya smabil menggaruk-garuk kepala, takut-takut Lego ketahuan menyusup ke sini.
Lego memandangi wajah pucat di dalam peti itu. Matanya terpejam damai, seolah tidurnya begitu tenang. "Apa rasanya mati? Gak sakit kan?" Senyum Lego mengembang, membuat beberapa orang yang berada di dekatnya memandanginya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Teen Fiction•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...