Di sudutkan oleh Keadaan

7.1K 702 50
                                    

MILEA  tak bisa menahan mulutnya sendiri untuk tidak menganga lebar ketika Javier menceritakan apa yang di bicarakan olehnya dan juga Papinya di kantor beberapa waktu lalu. Tidak butuh waktu yang lama untuk Milea akhirnya memutuskan, "Enggak." Ucapnya.

Terlepas dari masalah pekerjaannya, Milea tau kalau memindahkan Lego beserta keluarganya keluar negeri tak bisa semudah membalikan telapak tangan. Ini tentang kenyamanan Lego yang mungkin saja tak ingin meninggalkan Indonesia. Ini tentang kehidupan anak itu nantinya. Milea tau betul hal itu karena anak itu saja selalu merengek agar di izinkan untuk pergi ke sekolah.

Tak butuh alasan dan penjabaran yang detail untuk Milea tau kalau Lego tak suka di perlakukan seperti orang sakit, dia ingin hidup normal seperti anak-anak yang lain dan ia sudah terlalu nyaman dengan lingkungannya. Dengan hidupnya di sini. Milea sama sekali tak ingin mengambil resiko apapun.

Apalagi resiko bahwa Lego akan membencinya karena sudah membuat anak itu putus sekolah dan pergi jauh dari teman-temannya. Milea tak bisa menerima itu.

"Ini yang terbaik buat Lego Mil." Javier menggerakan tangannya seolah memberikan keputusan akhir.

"Apanya yang baik sih? Lo pikir dia suka kalo sampe harus berenti sekolah? Lo pikir dia suka kalo harus ninggalin temen-temennya? Lo mikirin itu gak Jav, hah?" Milea memukul meja kerja Javier di sampingnya sebelum berbalik membelakangi Javier.

"Fuck the risks! yang penting dia sembuh, setelah sembuh kita juga bisa balik ke sini lagi." Emosi Javier ikut-ikutan tersulut. Meski ia ingin sekali mengamuk bahkan menterbalikan meja di sampingnya, namun Javier terus berusaha mengontrol. Ia tak ingin Venus yang sedang berada di kamar Lego mendengar keributan itu.

Milea pun langsung berbalik menatap Javier sengit. Emosi keduanya sudah berada di puncak tak tertanggungkan, "Kalo dia sembuh Jav! Lo lupa kata 'kalo'!" Milea menarik napas dan menghembuskannya lagi mencoba mengatur emosi, "Tapi kalo dia gak sembuh lo mau apa, hah? Biarin semuanya terenggut, biarin dia mati di sana tanpa rasain gimana sekolah, mati di sana tanpa temen-temennya. Lo pikir gimana perasaan dia nanti, Jav!"

"Kenapa lo pesimis? Anak kita sakit dan lo malah pesimis. Kenapa gak sekalian aja lo matiin Lego sekarang!" Tangan kanan Mileapun langsung melayang menampar pipi Javier hingga meninggalkan bekas merah di sana.

Jari tekunjuk Milea mengapung di udara menunjuk tepat kewajah Javier yang masih menoleh kekanan akibat tamparan Milea. "Gue bukan pesimis Jav. Tapi gue mikirin perasaannya Lego. Gimana kalo dia gak suka dan dia malah stress di sana? Obat semahal apapun, dokter sepinter apapun, alat secanggih apapun juga gak bakalan bisa nyembuhin dia kalo dianya aja tertekan."

Air mata Milea mulai mengalir lagi. Lama-lama wanita itu benci dengan dirinya sendiri yang terus-terusan menangis, lemah. Tak ada yang bisa ia lakukan, dan yang di lakukannya hanya menangis dan menangis hingga matanya perih. Dari segala jenis cobaan, segala hal buruk yang menimpa anaknyalah yang paling ia benci. Begitu juga yang Javier rasakan.

Javier dan Milea secara sadar rela jika hidupnya menderita, selalu di dera masalah asal anak mereka baik-baik saja, asal anak mereka bahagia. Bukan seperti ini.

"Gue mau Jav Lego sembuh, gue bahkan mau bertukar posisi sama Lego, gue ikhlas. Tapi gue mau dia juga bahagia Jav. Hidup dia gak cuma tentang penyakit brengsek ini, dia masih punya kehidupan lain Jav. Jadi gue mohon. Pikirin kalo lo berada di posisinya Lego sekarang."

Setelah kalimatnya selesai, Milea pun langsung mengambil kunci di atas meja Javier dan melangkah keluar. Javier tau kalau dirinya sudah bersalah saat di dengarnya deru mesin mobil yang perlahan menjauh. Di jatuhan tubuhnya kelantai sambil menangis sendu, tanpa suara.

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang