SEBENARNYA sudah sejak tadi wajah Venus terlihat tidak mengenakan namun entah mengapa Roka tak menyadarinya dan malah mengajaknya ke rumah untuk bertemu dengan seluruh keluarga Roka untuk pertama kalinya. Tanpa tau kalau hal itu membuat Venus bertambah uring-uringan.
"Tunggu sini." Hanya itu yang ia katakan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Venus di kamar berukuran super besar, bisa di pastikan kamar Roka berukuran 3 kali lebih besar dari kamarnya. Dan Venus tidak heran lagi. Sebagai anak dari salah satu pengusaha sukses di Jakarta, sudah pasti kamar Roka tak senormal orang-orang pada umumnya.
Venus pernah ke kamar itu, tentunya saat itu orang rumahnya sedang tidak ada. Memang rumah besar yang memiliki basement sendiri itu sering sekali kosong. Orang tua Roka sudah lama bercerai, meski hubungan mereka masih cukup baik. Hal itu membuat Mama Roka harus bekerja. Dan adik-adiknya memang jarang berada di rumah juga.
Dan Roka bilang, hari ini kekasih baru Mamanya akan datang kerumahnya, itu sebabnya semua anggota keluarganya akan berada di rumah. Dan karena Venus adalah orang yang sangat berarti untuknya, maka Roka mengajak Venus untuk ikut makan malam. Sama seperti adik perempuannya, Aura yang akan membawa pacarnya.
Venus menggigiti kukunya. Bukan ini yang ia harapkan. Venus mengajak Roka bertemu agar lelaki itu bisa membawanya pergi ke tempat yang sedikit sepi, untuk berbicara serius tentang hubungan mereka. Tentang Venus yang sebenarnya ingin mengatakan segalanya. Segala hal yang ia tutupi selama ini.
Tiba-tiba pintu bercat putih itu terbuka. Seorang perempuan yang membukanya langsung terlihat terkejut, "Sorry.. sorry, kirain kamu belom dateng." Ucapnya meminta maaf. Itu Aura, umurnya setahun di atas Venus. Wajahnya benar-benar cantik, tak jauh beda dengan Roka yang tampan. Jika Roka adalah Prince charming di sekolah, bisa di pastikan Aura adalah Princess-nya.
Venus pun langsung menggerakan tangannya, "Gak apa-apa kok, kak."
"Rokanya mana?" Gadis itu melangkah masuk dan menutup pintu putih itu.
Venuspun menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil menggelengkan kepala, "Enggak tau Kak, tadi keluar."
Aura langsung manggut-manggut. Seperti tersadar akan niatnya masuk ke kamar kakak lelakinya, gadis itu langsung menepuk keningnya sendiri kemudian berjalan mendekati lemari besar yang berada di pojok selatan kamar. Ia mengambil sebuah jaket dari dalamnya kemudian menoleh kearah Venus. Membuat gadis itu jadi kikuk sendiri.
"Gak mau turun Ve? Yang lain udah ngumpul di bawah, ada pacar aku juga, nanti aku kenalin." Ajak Aura.
Venus baru ingin menjawab ketika pintu kamar itu terbuka lagi berbarengan dengan suara berat yang sedang mengomel, "Aura lama banget, ngapain sih?" Lelaki itu langsung terdiam selama beberapa detik saat manik matanya bertemu dengan milik Venus.
Ia langsung menyengir lebar, malu sendiri karena sudah berteriak-teriak dan ternyata ada orang lain di dalam sana. "Eh ada Venus." Lelaki itu mengusap tengkuknya. Di hadapan Venus, Aura langsung mendengus malas sendiri, "Makanya sabar." ucapnya.
"Hai Kak." Venus mengangkat tangan kanannya di udara ia makin merasa awkward di sana. Yang satu itu adalah Audy, kembaran Aura. Lelaki yang sempat Venus taksir sebelum ia menyadari perasaannya sendiri terhadap Lego. Bisa di bilang mereka hampir menjadi sepasang kekasih kalau saja Roka tidak menikung adiknya sendiri dan akhirnya berhasil mendapatkan Venus.
Venus meringis dalam hati saat melihat senyuman khas milik Audy. Salah satu alasan yang membuat Venus jatuh hati dengan lelaki itu, selain alis tebalnya adalah senyuman manisnya. Untuk beberapa saat mereka berpandangan tanpa bisa terlepas hingga Aura melempar jaket di tangannya ke arah Audy.
"Biasa aja liatinnya woi, punya Roka ini."
"Apaan sih lu." Audi langsung pergi dari sana, Venus bisa menebak kalau lelaki itu ngambek dengan Aura karena menggodanya seperti itu. Namun Aura hanya mendengus malas. "Yaudah gue kebawah duluan ya. Jangan lama-lama di sini." Katanya sambil tersenyum.
Venus pun menganggukan kepalanya sambil memandangi tubuh ramping Aura melenggang pergi. Dan Venus tau kalau hari ini akan menjadi hari yang berat untuknya.
***
Mobil itu berhenti di depan rumah bertingkat dua dengan halaman yang asri di depannya, namun tidak terlihat jika dari luar karena pagar hitam yang menjulang tinggi menutupinya. Bertepatan dengan berhentinya mobil itu, Roka pun menyelesaikan kalimatnya meski senyumnya masih terukir jelas di sana.
"Sumpah aku seneng banget hari ini. Rasanya kaya, lengkap aja gitu. Ada keluarga aku, ada pacar Mama, ada kamu." Roka menyentuh hidung Venus dengan jari telunjuknya saat mengatakan 2 kata terakhirnya.
Venus tak menjawab apapun, ia hanya tersenyum lebar, benar-benar sebuah senyum yang di paksakan. Roka baru tersadar sekarang, gadis itu beda hari ini. Ia lebih banyak diam, hanya berbicara jika di tanya, terlebih sepanjang perjalanan ini. Gadis itu hanya menjawab 'iya' atau hanya berdeham saja.
"Okey, jadi kenapa?" Tanyanya, membuat Venus akhirnya merasa lega, akhirnya Roka memperhatikannya.
Venus menyerongkan tubuhnya, kaki kanannya sampai naik ke atas jok agar tubuhnya bisa menghadap kearah Roka. Di lihatnya lelaki itu dengan leakt, lengannya bersandar di stir mobil dan tubuhnya terputar beberapa derajat menghadap kearahnya.
Gadis itu menghela naps sebelum membuka mulutnya, "Aku mau udahan." Ucapnya to the point.
Roka langsung mengernyit, ia memundurkan tubuhnya sangking tidak percaya dengan apa yang Venus katakan. "Wo.. Wo.. Wo, Hold on." lelaki itu mengelus hidungnya sekilas, "Kita gak lagi ada masalah, kita lagi baik-baik aja, kenapa kamu tiba-tiba.. Ve sumpah. Jangan bercanda."
"Aku yang salah Roka. Jadi—"
"Salah? Salah apa? Kita bahkan gak ketemu hampir seminggu, terus kenapa? Aku gak ngerti ada apa."
Venus menyandarkan tubuhnya di pintu. Meski sebelumnya ia sudah benar-benar mantap, namun melihat Roka seperti ini kemantapannya meluruh menjadi sebuah ketakutan. Takut melukai hati Roka, takut kalau langkah yang ia ambil adalah kesalahan. Tapi semuanya sudah terlambat untuk mundur. Venus tidak mau lebih lama lagi merahasiakan segalanya.
"Kamu tau kan kalo aku sayang kamu?"
"Please Ve, jangan muter-muter"
"I kissed Lego." Venus bisa melihat wajah terkejut Roka yang seolah menonjok hatinya. Tubuh lelaki itu langsung lemas. Ia kembali menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Ia memajamkan matanya sesekali merasakan sebuah rasa sakit ilusi yang bahkan terasa lebih nyata dari apapun sekarang. Seperti ada yang menusukan belati ke dadanya, menembus rusuknya dan mendarat tepat di hatinya.
"Tapi kamu bilang... kamu bilang.." Roka mengusap wajahnya, tak bisa lagi melanjutkan ucapannya. Setelah segala hal yang sudah Roka lakukan, setelah 2 tahun belakangan ini bersama apakah gadis itu masih..
"Aku masih sayang sama Lego, Ro. Maaf. Aku emang brengsek. Tapi aku gak pernah boong saat aku bilang kalo aku sayang sama kamu, Ro. Tapi rasa sayang aku gak sebesar yang aku rasain buat Lego."
Tinn!
Roka memukul stir mobilnya hingga klaksonnya berbunyi. "Turun lo."
"Maafin aku, Roka."
"TURUN!" Bentaknya keras sampai Venus memejamkan matanya sekilas. Air matanya sudah tak terkendali lagi dan akhirnya mengalir tanpa perintah. Seperti permintaan Roka, gadis itu pun langsung turun dari sana.
Seperti hanya selang sepersekian detik setelah Venus menutup pintu mobil itu, Roka langsung melajukan mobilnya dengan begitu cepat. Venus pun langsung terduduk lemas di atas aspal, tangannya langsung sibuk mencari nama seseorang yang berada di kontak ponselnya dan mendialnya langsung, mendekatkannya ke telinga.
"Audy, please cari Roka. Please pastiin kalo dia baik-baik aja. Please.. Please.." Ponsel itu terjatuh begitu saja tanpa Venus sempat mendengar pertanyaan-pertanyaan Audy yang menanyakan 'ada apa'. Gadis itu sibuk dengan dunianya yang telah runtuh seutuhnya. Sibuk dengan rasa sakit karena perbuatannya sendiri.
Dalam hatinya ia tau, kalau Roka tak akan pernah memaafkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Teen Fiction•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...