SUASANA hotel bergaya modern itu begitu hening meski keadaannya seperti kapal pecah. Dengan Koper hitam yang tergeletak mengenaskan di lantai pada posisi terbuka dan isinya berserakan begitu saja. Hairdryer, catokan dan alat make up lainnya pun tersusun berantakan di meja rias depan kaca.
Sisi berdecak sambil mengambil satu persatu pakaian yang berceceran di lantai, "Kenapa sih Mbak gak pernah rapih." Protesnya kemudian menumpuk 6 buah baju di atas tempat tidur.
Sementara yang di ajak berbicara masih santai, berbaring di atas kasur dengan hanya memakai tangtop dan celana pendek berbalut kimono mandinya, rambutnya yang masih basah di balut oleh handuk. Ia meletakan kaki kanannya di atas kaki kiri saat menjawab, "Siapa suruh sutradaranya bawel."
"Jangan terima kalo ada tawaran film dari dia lagi ya Si. Mbak gak mau lagi kerja sama dia." Tuturnya kepada sepupu sekaligus managernya dan asistennya. Memang sudah 2 hari ini wanita itu tidak pulang ke rumah karena pekerjaan yang menuntutnya. Padahal ia selalu berpesan pada managernya itu untuk tidak menerima tawaran shooting yang sampai mengharuskannya menginap seperti ini. Tapi entah kenapa Sisi mengiyakan saja tawaran dari Prasmudya, sutradara terkenal itu.
Jangan salahkan Sisi, karena wanita itu sendiri yang tak mau membaca kontrak terlebih dahulu, malah melimpahkan semua keputusan pada Manajernya itu. "Iya mbak." Jawab Sisi dengan ketus.
Jemari wanita itu menggeser layar ponselnya hingga menampakan wajah anak laki-laki yang sedang tersenyum hingga memperlihatkan giginya. Di lehernya tergantung sebuah medali perak karena berhasil menjuari suatu perlombaan sastra di sekolahnya.
Jadi kangen.
Wanita yang masih terlihat cantik dan awet muda itupun menekan tombol home pada ponselnya. Kemudian membuka laman untuk mengetik nomer yang sudah di hafalnya di luar kepala. Setelah men-dial. Ia pun mendekatkan ponselnya ketelinga.
"Mbak pakai baju yang bener dulu. Abis ini kita ke kampus lagi." Tutur Sisi, membuatnya bergerak duduk di atas kasur.
"Iyaudah siapin aja—Halo, Go?" Wanita itu langsung bangun dan berjalan mendekati jendela besar di arah timur ruangan, duduk di salah satu kursi kayu sambil memainkan bibirnya.
"Kenapa Bun?" Suara yang tidak berat dan tidak juga cempreng itupun terdengar di telinganya. Membuat seseorang yang di panggil Bun itu jadi makin rindu. "Bunda kangen."
"Lego lagi apa?" Tanyanya lagi.
"Kalo deket aja di marahin terus. Giliran jauh sok sok kangen." Celetuk Lego, anaknya yang langsung membuat mood romantis ala-ala seorang ibu yang merindukan anaknya akhirnya lenyap tak bersisa. "Oh gitu. Okey." Ucapnya.
"Eh-eh Bunda jangan ngambeklah. Lego bercanda tau."
"PS Bunda sita ya, Go."
Milea mendengar anak lelakinya mendengus di seberang telpon, "Tuh kan Bunda mah ngambeknya nyebelin."
"Apa? Atm di sita juga? Oke deh."
"Ih iya-iya gak nyebelin deng. Ngangenin! Ngangenin banget! yaAllah Lego kangen bunda banget yaAllah." Ujar Lego buru-buru setelah menyadari kalau ia sudah salah berbicara lagi. Milea pun terkekeh, ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi putranya sekarang. Membuat wanita itu semakin rindu.
"Bagus."
"Gak jadi sita kan?" Milea langsung menaikan alisnya. Benar-benar anak itu berkata rindu cuma agar Milea tak menyita barang-barangnya.
"Apa? Hp juga mau di sita?"
"Eh enggak-enggak Bun ah! Gitu banget sih ngambeknya kan cuma nanya. Semuanya aja di sita sekalian." Kali ini Milea membayangkan bibir Lego yang di tekuk dan kening lelaki itu yang mengerut. Milea jadi gemas. Ingin cepat pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Teen Fiction•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...