SETELAH lelah melayani permintaan orang-orang untuk foto bersama. Milea pun akhirnya sampai juga di depan kamar hotelnya. Tangan kanannya terangkat mengetuk kamar bernomor 672 itu. Tentu saja karena kuncinya sudah di pegang oleh Lego.Begitu pintu cokelat itu terkuak, Milea pun langsung di suguhkan dengan wajah Lego yang lesu bahkan mata birunya tak menatap kearah Milea. Sebelum sempat Milea mengatakan apapun, anak lelaki itu sudah berjalan masuk membiarkan pintu itu terbuka dengan Bundanya yang masih berada di depan.
Milea pun melangkah masuk, mengunci pintu kamar hotelnya sebelum duduk di atas kasur persis di samping Lego. "Jangan ngambek dong." Rayunya.
"Enggak." Jawaban jutek nan dingin itu sudah menjelaskan pada Milea banyak hal. Yang pertama, kalau anak sematawayangnya memang benar-benar ngambek. Dan yang kedua, dia ngambek karena lagi-lagi Milea menyebutnya sebagai keponakan. Milea tau benar hal itu.
Tangan kanan Milea pun bergerak merangkul tubuh Lego dan menariknya mendekat. "Kan kamu tau alasan Bunda. Kamu harus ngerti ya." Ucapan Milea sedikit bergetar menandakan kalau wanita itu berat untuk mengatakannya.
Sejak pertama kali Milea terjun ke dunia entertainment, manajer atau orang-orang yang bekerja bersamanya selalu menyuruh Milea untuk menyembunyikan tentang kehidupannya. Film pertama yang ia bintangi, Milea berperan menjadi anak SMA dengan kisah cintanya. Untuk mendongkrak Film tersebut, Milea harus membuat pencitraan dengan pura-pura berpacaran dengan pemeran lelakinya.
Wajah Milea yang masih terlihat muda pun membuat semua orang percaya kalau ia belum menikah dan mempunyai anak. Selain itu Milea memang tak ingin kalau anaknya jadi terkekang jika Milea membokar semuanya, pasti banyak wartawan yang akan menghatui Lego kemanapun. Dan Milea tak suka itu.
Oleh karena itu, ia pun terkenal sebagai Artis dan Model yang masih lajang.
Wajah Lego pun berubah kasihan mendengar nada suara Bundanya, lelaki itupun langsung menoleh kearah kirinya membiarkan mata birunya bertabrakan dengan mata Hazel milik Milea, "Iya Bun, Lego ngerti kok."
***
"Gue gak ngerti."
Sudah sejam lebih lelaki berpakaian putih itu menuturkan kepada Javier tentang segala hal yang harus lelaki itu tau. Tangan pria itu merentangkan gambar hasil CT-scan dan menjelaskannya berulang-ulang karena Javier selalu berkata kalau ia tidak mengerti.
Dan kali ini pria di hadapannya sudah mulai lelah menjelaskan. Di letakannya gambar dari sinar X-Ray itu di depan Javier dan kemudian ia menurunkan kacamatanya, jengah.
"Kok berenti? Gue masih gak ngerti. Coba ulang." Protesnya lagi.
"Jav!"
"Gue belom ngerti Deva! Lo kan dokter, lo harus jelasin ke gue sampe gue ngerti." Raut wajah frustasi Javier membuat Deva benar-benar iba. Namun tak ada yang bisa ia lakukan atau katakan lagi karena memang Javier yang tak ingin mengerti.
"Gue udah jelasin 6 kali Javi. Dan Ini udah.." Deva memberi jeda untuk melirik jam hitam yang melingkar di pergelangan tangannya, "jam Satu malem."
Javier mengusap wajahnya, emosinya mulai meluap, salah satu sifat buruknya kalau sudah pusing dengan suatu masalah. Ia pasti akan meledak-ledak. Dan Deva tau itu.
Javier berdiri dari kursinya, "Tapi gue gak ngerti kenapa anak gue bisa sakit anjing!"
Brak!
Di tendangnya meja kerja Deva membuat empunya langsung bangkit dan mundur perlahan. Lelaki itupun langsung jalan memutari meja dan menarik tubuh Javier agar menghadap kearahnya. Meski matanya masih terlempar kesegala tempat. Pada pot bunga yang entah apa di sudut ruangan. Atau pada kerangka tengkorak yang berada di belakang meja Deva ataupun pada kasur biru tempat memeriksa pasien. Segala tempat kecuali mata Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A S C H E R A
Teen Fiction•The missing piece of Alea Jacta Est• Selamat datang di pertunjukan paling spektakuler. Anda tak akan pernah tau topeng mana yang asli. Anda tak akan tau siapa yang sedang berpura-pura. Karena nyatanya, hidup ini hanya sebuah panggung. Para pemain m...