Akhirnya terbuka

10.5K 908 32
                                    

PUTARAN pertama telah berlangsung dengan baik namun kondisi salah satu pemainnya tidaklah baik. Padahal permain bernomor punggung 5 itulah yang sejak tadi mencetak angka.

Lego langsung mendekati Galih sebelum babak kedua di mulai, "Gal gue udah gak kuat lagi." Napas Lego yang berderu tidak karuan serta beberapa kali lelaki itu terbatuk membuat Galih iba. Lagi pula sejak awal Lego sudah mengatakan pada Galih kalau ia sebenarnya sedang tidak enak badan.

Galihpun mengangguk, membiarkan Lego untuk di gantikan oleh Vano.

Sesudah duduk di pinggir lapangan, Oriza pun langsung memberikan minuman kepada sahabatnya itu. Yang langsung di tenggak hingga menyisakan setengah. Lego masih saja tak bisa mengatur napasnya. Tiba-tiba saja rona di wajahnya memudar hingga akhirnya pucat pasih. Lego terus terbatuk-batuk sambil menutup mulutnya sendiri dengan tangan.

"Go, lo gak apa-apa?" Tanya Oriza mulai khawatir. Salah satu hal yang membuat Oriza dan Lego dapat menjadi dekat adalah karena anak itu sering sekali jatuh sakit dan di rawat di rumah sakit. Oriza sebagai anak dari seorang dokter yang tentunya sering sekali bolak balik rumah sakit untuk menemui ayahnya, akhirnya bisa akrab dan bermain dengan Lego. Jadi melihat Lego seperti ini, seperti siaga satu untuknya.

"Gak." Jawabnya singkat namun suara napasnya justru making melengking seolah akan hilang kapan saja.

Anak itupun langsung bangkit dan menggantungkan tasnya di bahu meski dengan susah payah, "Gue ke kamar mandi dulu." Ucapnya.

"Mau gue temenin?" Tawar Oriza namun Lego hanya menggeleng dan terus berjalan dengan pijakan yang tidak stabil hingga hilang di balik dinding.

Oriza menghela napasnya. Apa perlu ia mengabari ayahnya atau orang tua Lego? Tapi Lego pasti akan mengamuk kalau Oriza melakukannya. Terlebih lagi ia pasti akan terkena amukan orang tuanya juga karena sudah pergi diam-diam.

Hingga Oriza pun melihat Venus yang berjalan kearahnya dengan raut wajah khawatir dan tergesa-gesa. Membuat Oriza menghela napas sendiri. 2 orang dengan sandiwaranya. Itulah yang selalu Oriza utarakan untuk mendeskripsikan Lego dan Venus.

"Lego mana?" Tanyanya terlihat sangat cemas.

"Kamar mandi." Jawab Oriza acuh.

"Dia gak apa-apa kan?"

"Emang dia kenapa?" Ucap Oriza balik bertanya.

"Ya kan lo tau dia Ri. Gak bisa capek sedikit langsung sakit. Apalagi akhir-akhir ini dia sering pingsan tiba-tiba."

Mata Orizapun membulat, "Pingsan?"

Venus menganggukan kepalanya, "Udah 3 kali pas jam olahraga dia pingsan."

"Shit." Tanpa banyak bicara lagi, Oriza pun langsung meninggalkan tempatnya berjalan cepat menuju kamar mandi gor itu. Langkahnya kalap kelewat khawatir.

Begitu masuk kedalam kamar mandi, Oriza langsung di suguhkan dengan pemandangan Lego yang sedang terbatuk-batuk dasyat hingga batuknya mengeluarkan darah di atas westafel. Lego melirik Oriza dari kaca besar di hadapannya. Lelaki itu langsung mendengus. Menyadari kalau Oriza adalah orang pertama yang melihat keadaannya seperti ini.

"Gue telpon bokap lo." Tangan Oriza langsung merogoh saku celananya dan sibuk mencari kontak ayah dari Lego.

Lego pun menoleh kearahnya, "Ori! Kalo sampe lo nelpon—"

"Gue gak peduli." Oriza memilih untuk mengabaikan Lego dan akhirnya sambungan telpon itupun terjalin.

***

Cukup keras tubuh Javier terdorong hingga menghantam dinding di belakangnya. Di hadapannya Milea sudah menangis sejadi-jadinya sambil terus memukuli tubuh lelaki itu. Menendangnya, mendorongnya, apapun ia lakukan untuk meluapkan berbagai emosi di dalam benaknya karena Javier telah menyembunyikan hal paling fatal dalam hidup mereka.

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang