Kehancuran yang Sempurna

6.9K 674 97
                                    

SETELAH menyelesaikan segala macam pemeriksaan di UGD akhirnya Javier dan Lego terpisah. Lego di larikan ke ICU karena kondisinya yang kritis sementara Javier langsung di larikan ke ruang operasi untuk mencabut peluru yang masih bersarang di kakinya dan juga memasang ring di pembuluh darahnya.

Sebelum benar-benar memasuki ruang operasi, Javier tiba-tiba memegang tangan Deva dengan kuat saat lelaki itu mendorong brangkas yang sedang di tiduri oleh Javier. "Berenti Dev." Deva pun langsung menyuruh suster-suster lainnya untuk berhenti mendorong. Milea sedang berada di ICU menemani Lego, oleh sebab itu hanya Deva dan Onad yang menemani Javier.

"Kenapa? Kita harus buru-buru operasi sebelom lo kehabisan da—"

"Ambil paru-paru gue." Deg!

"Jangan sinting Jav!" Teriak Onad cukup kencang hingga beberapa suster yang masih berada di sana langsung tersentak. Buru-buru Deva langsung menugaskan para suster dan perawat itu untuk jalan terlebih dahulu menuju ICU. Yang tentu saja langsung di turuti, terlebih saat melihat  kejadian beberapa detik itu.

"Gue gak bisa main operasi gitu aja Jav. Keadaan Lego masih lemah."

"Gue gak peduli! Gue tau setelah ini paru-parunya bakalan parah, dia butuh oksigen portable atau bahkan dia kritis. Gue cuma mau dia bernapas kaya dulu lagi Dev. Gue gak mau anak gue menderita lagi."

"Tapi itu artinya lo bakalan mati, goblok!" Sergah Onad dengan emosi yang meluap di dadanya. Lelaki itu memukul udara kemudian memalinhkan tubuhnya, ia emosi dan tak bisa melihat Javier saat ini. Karena kalau salah-salah, Onad bisa melayangkan pukulannya pada Javier agar lelaki itu bisa sadar kalau omongannya benar-benar melantur.

"Gue gak peduli Onad! Gue gak peduli!" Dada Javier naik turun menahan sesak yang bergejolak, entah karena penyakitnya atau karena segala niatnya yang sudah ia mantapkan sejak tadi. Tapi Javier terus berusaha baik-baik saja. Berusaha kalau kehilangan nyawanya hanyalah hal sepele, padahal tidak, sejujurnya Javier takut. Tapi untuk Lego, apapun akan Javier lakukan.

"Udah cukup gue liat Lego menderita. Udah cukup gue liat Milea nangis karena tau anak kita bakalan mati. Udah cukup gue janji-janji sama mereka berdua, kalo semuanya bakalan baik-baik aja, padahal enggak. Gak ada yang baik-baik aja dari kanker. Gak ada."

Onad langsung cepat berbalik dan melangkah menghampiri Javier dengan tangan terkepal. Namun buru-buru Deva langsung menahan lelaki itu, mencegah Onad untuk tidak melakukan hal yang membuat keadaan semakin parah.

Lelaki itupun mendesah, di tatapnya mata biru milik Javier dengan sangat lekat, "Terus kalo lo mati, emang Milea gak bakalan nangis, hhmm? Kalo lo mati emang Lego gak bakalan ngerasa bersalah karena bisa bernapas pake paru-paru bapaknya? Apa Lego gak bakalan kesiksa dan nganggep dirinya sendiri sebagai pembunuh, hah?"

"Lo udah pernah ngerasain itu sama Kak Jeni, kakak lo sendiri. Lo udah tau rasanya kaya apa. Dan lo mau biarin Lego ngerasain apaa yang lo rasain selama ini, hah?!" Javier langsung tersentak mendengar ucapan Onad yang tak salah sedikitpun. Seolah tak memiliki cela untuk menusukan kata-kata itu, merubahnya menjadi belati dan mencabik-cabik dada Javier seketika.

Namun nyatanya lelaki itu masih teguh pada pendiriannya, "Gue gak peduli."

Onad langsung merontah berusaha melepaskan cengkraman Deva di tubuhnya. Hasratnya untuk memukul Javier bertambah kuat seiring ucapan lelaki itu yang menurutnya benar-benar tidak waras, "Bangsat!" Umpatnya kesal, "Lepasin gue Dev. Manusia tolol ini emang perlu di tonjok biar sadar."

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang