Sakit yang tak tertanggungkan

7.4K 659 112
                                    

PAGI-pagi sekali Venus sudah berada di rumah bertingkat dua itu dengan 2 buah kantung kresek berisi bahan-bahan masakan. Venus tau kalau Milea tidak bisa memasak dan karena kondisi Lego semakin menurun, menurutnya Lego harus makan masakan rumah yang tentunya higienis.

Senyuman gadis itu sudah kembali seperti biasanya seolah kemarin tidak terjadi apapun. Tipikal Venus yang sangat apik menyembunyikan rasa sakitnya. Pembuat topeng terbaik yang Milea tau. Bahkan Milea yang berprofesi sebagai artis pun tak pernah bisa meredam rasa sakitnya. Ia ingat sekali saat sedang syuting dalam kondisi dirinya yang sedang bertengkar dengan Javier. Bukannya akting dengan benar, malah sutradaranya yang kena omelan dari Milea.

Maka Milea benar-benar salut dengan Venus. Terlebih soal kegigihannya untuk menunjukan seberapa cintanya dia kepada putra sematawayang Milea. Wanita itu sampai bingung sendiri, mengapa mereka tak pernah menjadi sepasang kekasih? Padahal keduanya sama-sama terlihat saling menyayangi.

Tingnung

Bunyi bel rumahnya langsung membuat Milea menoleh. Di letakannya kacang panjang yang sedang ia potong-potong atas arahan Venus. "Bentar ya. " Milea pun berjalan menuju pintu setelah mendapat anggukan kepala dari Venus yang sedang mengaduk-aduk sup buatannya.

Milea menyengir lebar begitu membuka pintu berbahan dasar jati itu. Ia berjongkok agar tubuhnya bisa setara dengan gadis kecil yang sedang mendusel-dusel di kaki wanita paruh baya di sampingnya.

"Hai Nagisha. Welcome home."

***

Semenjak kakinya menginjakan rumah yang telah di tinggali semasa hidupnya itu, bukan berarti Lego sudahsehat ataupun merasa lebih baik. Tubuhnya masih terasa sama saja. Mudah sekali merasa lelah, bahkan untuk menaiki tangga rumahnya saja, ia butuh bantuan. Tidak ada kata yang bisa Lego deskripsikan untuk dirinya sendiri, selain ; menyedihkan.

Lelaki itu mencoret tulisan di baris terakhir buku catatannya yang baru saja ia tulis. Sejak tadi ia menulis apa-apa saja yang harus ia lakukan sebelum meninggal. Itu adalah saran Deva. Lego sudah tau, semua hal itu terinspirasi dari saudara kembar Deva yang juga mengidap kanker. Deva bilang kalau hal itu akan membuat hidup Lego terasa komplit.

Namun bukan seperti yang di maksud Deva, yang Lego tulis malah hal-hal yang aneh. Salah satunya ; ia tak ingin ada yang mengenakan pakaian hitam di pemahkamannya.

Tangan lelaki itu bergerak, menulis sesuatu yang merupakan koreksi dari tulisan sebelumnya yang ia coret, ketika seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya. Buru-buru Lego menyembunyikan buku catatannya di balik bantal dan bersikap senormal mungkin. Lagi-lagi mengenakan topeng 'baik-baik saja' yang ia punya.

"Masuk."

Pintu kamar itupun terkuak. "Hai." Lego tertegun di tempat, ketika melihat Venus berjalan memasuki kamarnya dengan wajah berseri dan senyuman khas di bibirnya, sambil membawa nampan di tangannya. Entah apa yang membuat gadis itu tak mudah menyerah, padahal Lego sudah memperlakukannya kasar kemarin.

"Gue buatin Sup jagung nih." Gadis itu meletakan nampannya di atas nakas, kemudian duduk di pinggir tempat tidur.

"Ngapain lo kesini?" Lego memalingkan wajahnya. Ia takut akan meledak-ledak lagi jika melihat wajah ceria Venus yang seolah tak terjadi apa-apa. Mendadak atmosfer di ruangan itu jadi dingin. Padahal mesin pendingin tak menyala. Jendelanya tertutup rapat meski hordennya terbuka lebar. Bisa di lihat seberkas cahaya menembus kaca dan jatuh membentuk bayangan di lantai kamar Lego.

Tiba-tiba Lego merasakan sentuhan hangat di dagunya sekilas. Wajah Lego pun menegang, Venus mengelus wajahnya. "Gak usah sok ngambek deh, jelek muka lo tuh." Venus tertawa ringan. Ia membawa santai kata-kata dingin yang Lego keluarkan.

"Yuk makan. " gadis itu sudah mengangkat mangkuk dari atas nampan sambil menganduk-aduk isinya.

"Gue gak mau."

Bukannya menyerah, gadis itu malah menyodorkan sesendok sup ke arah mulut Lego. "Aaaa.."

"Lo budek ya?" Akhirnya Lego memperlihatkan mata sinisnya kearah Venus. Satu hal yang paling menyayat Venus seketika adalah mata itu. Saat mata biru setenang laut itu berubah menjadi mata tajam seperti tombak. Tatapannya seolah mencabik hati Venus seketika.

Meski tangannya mulai bergetar samar, namun Venus tetap berusaha menguatkan dirinya. Ia berusaha mengulas sebuah senyuman yang sempat hilang beberapa detik yang lalu, "Ayo Go buka mulutnya, pesawat mau ma—"

Prang!!

Venus tersentak di tempatnya memandangi mangkuk yang sudah pecah dan isinya berserakan di lantai. Tangannya sempat terkena sup, hingga kini berwarna kemerahan. Pedih, namun hatinya jauh lebih sakit.

"Pergi." Perintah itu seolah tak sampai ke telinga Venus karena gadis itu masih mematung tanpa suara, tanpa bergerak sesentipun. Darah Lego pun naik ke kepala. Ia merontah-rontak menendang apapun yang ada di dekatnya, termasuk tubuh Venus hingga akhirnya gadis itu bangkit.

Ia menatap Lego dengan dingin. Dengan air mata yang mengalir tanpa suara. Lego masih sama, mengamuk dan melempar benda-benda di dekatnya ke sembarang arah, hingga mengenai berbagai barang yang akhirnya terjatuh ke lantai dan hancur. Lego tau kalau kegaduhan itu terdengar oleh seisi rumah.

"Cukup, udah cukup. Gak perlu lo ngamuk-ngamuk, gue bakalan pergi." Lego berhenti bergerak mendengar ucapan yang begitu lirih keluar dari bibir Venus. Dari sudut matanya ia bisa melihat gadis itu menyeka kedua air matanya dengan punggung tangan.

Ia berjalan kearah pintu dengan cepat. Namun sebelum benar-benar keluar, Venus justru berjalan masuk kembali. Di gerakannya jari tunjuknya di udara mengarah tepat ke wajah Lego. "Dan satu hal lagi. Lo bener. Selama ini gue cuma berusaha jadi Rachel. Kenapa? Karena Rachel nitipin lo ke gue." Gadis itu menarik napas dalam, mencoba mengusir rasa sakit di dadanya. Tapi percuma, "Kalo bukan karena Rachel, gue gak akan mau berbaik hati sama lo. Dan ya, semua yang gue bilang itu bohong. Gue, gak pernah, sayang sama lo!"

Gadis itupun berlari keluar, menutup pintu kamar Lego dengan keras seperti membanting. Padahal di ambang pintu Milea sudah berdiri, menyaksikan apa yang barusan terjadi di sana. Air mata Milea ikut-ikutan mengalir, tangan kanannya terangkat menutupi mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia menolak untuk masuk kedalam kamar, memberikan Lego waktu untuk sendiri.

Jadi Milea tidak pernah tau, kalau di dalam sana Lego juga menangis lirih. Tak ada raungan yang terdengar, hanya tangisan pedih berbalut sepi. Tangannya bergerak mengambil sebuah buku yang tadinya berada di bawah bantal, namun kini sudah tergeletak di sampingnya.

Ia membuka halaman pertama yang baru di tulisnya. Lelaki itu tersenyum, memberikan tanda centang pada kalimat terakhir yang baru di tulisnya. Menyadari kalau salah satu keinginannya sudah terkabul.

Buat Venus menjauh.

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang