G R I S E L D A
Kuputuskan untuk pulang lebih cepat dari perpustakaan hari ini. Begitu seharusnya, tetapi aku hanya melihat dataku dan tidak mengerjakan apapun. Di samping itu, aku harus mempersiapkan diri untuk mendengar ocehan Nina karena aku juga berencana absen dari Fiona's.
Hari ini aku membawa kunci rumah Harry tanpa sepengetahuannya. Tepatnya, kunci belakang karena aku tidak tahu dimana letak yang depan. Apa yang bisa kukatakan? Ia masih tertidur dan Mrs. Thomson belum datang saat aku pergi ke UCLA. Dan keadaan masih sama saat aku pulang; Harry jauh di bawah alam sadar dan Mrs. Thomson juga tidak menampakkan batang hidungnya.
Kurasa ia sudah izin dengan Harry—sebelum Harry mabuk—atau ia ingin menebus semalam dengan anaknya. Entahlah. Bukan hakku untuk mencari tahu.
Aku mengecek kulkas sambil memikirkan masakan yang dapat kubuat dengan apa yang ada di dalam. Karena Mrs. Thomson tidak datang, itu artinya Harry tidak akan memiliki apapun untuk dimakan saat ia bangun, tidak seperti aku yang mampir di kedai kopi dekat UCLA.
Eggs Benedict. Kurasa aku bisa memasaknya. Aku menggoreng bacon dan membuat saus hollandaise serta merebus telur. Pekerjaanku tiga perempat selesai saat aku menyadari Harry tidak mempunyai english muffins di dapurnya untuk aku panggang. Aku memejamkan mata sejenak untuk mencari ide, tapi sayangnya aku tidak menemukan apapun. Setidaknya menurutku saus yang aku buat lumayan.
Akhirnya aku menumpuk telur di atas bacon dan menyiramnya dengan saus hollandaise dan mengharapkan itu cukup. Aku melihat piring itu, setengah bangga, setengah kecewa. Andaikan tumpukannya bisa lebih tinggi dengan english muffins.
Tidak ingin repot, aku hanya menuangkan susu cair yang ada di kulkas. Beruntungnya, gelas itu terisi penuh dengan tetesan terakhir susu kotak tersebut. Aku membawa piring Eggs Benedict dan segelas susu itu ke meja makan.
Perhatianku teralihkan saat bell rumah berbunyi. Aku berlari kecil ke depan untuk membukakan pintu, namun langkahku terhenti saat sesuatu menusuk ujung jari jempol kakiku. Reflek, aku menunduk.
Pecahan vas bunga. Vas tersebut seharusnya berada agak jauh dari tempat aku berdiri tetapi serbuk kacanya berserakkan dimana-mana. Ini pasti sumber suara yang menakutkan semalam. Harry menghantam vas. Bel itu berbunyi lagi dan kuputuskan untuk mengurusi luka kecil di kakiku nanti.
Seorang figur yang tidak asing muncul setelah aku membukakan pintu. Ia tersenyum lebar ke arahku, akan tetapi tidak tau siapa namaku untuk disapa.
"Ah, kau!" Serunya. "Ada Harry di rumah?"
Aku membalas senyumannya. Declan. Ya, namanya Declan. Aku ingat dia di helikopter Harry. Kenapa Harry mengundang orang yang (sepertinya) ia benci ke rumah?
"Ya tapi kurasa kau tidak bisa menemuinya sekarang," jawabku.
"Dan kenapa itu?" Ia menyeringai.
"Ia sedang tidak dalam kondisi baik."
Declan tertawa besar—heboh dan puas, seolah perkataanku tadi baru saja memberikan orgasme bagi telinganya.
"Tentu saja," katanya di sela tawa. Ia berhenti lalu mengeluarkan sebuah surat dari saku jasnya. "Pastikan ia menerima ini, oke?"
Sepenting itukah surat ini sampai diantarkan ke depan pintu? Aku mengambil amplop itu dari tangannya, "tentu."
"Gadis baik. Tentu ia akan tetap bahagia," ia kembali tertawa dan kali ini berjalan menuju mobil mewahnya yang diparkirkan di dekat pagar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escort [Harry Styles]
Fiksi PenggemarWhen you got paid just to accompany a young, handsome, and rich businessman. ------- Completed // Written in Bahasa WARNINGS | Sexual Content | Strong Language | Use of Alcohol | Violence copyright © 2016-2018 livelifeloveluke. All rights reserved.