08. Pleasant, Posh, Poor - Part 1

3.3K 392 89
                                    

G R I S E L D A

"Kau harus mengatakan aku tidak bisa datang," paksaku pada Harry begitu Mrs. Coleman sudah melangkah jauh meninggalkan kami.

"Tidak. Kau harus datang," ujar Harry setelah kami masuk ke dalam lift.

"Tapi aku tidak mau!"

"Itu sama saja berkata tidak, Griselda," jawabnya dengan tenang. Aku tidak mau lagi menjadi kencannya. Ia telah merubah hariku menjadi super buruk, tidak seperti pertama kali aku menemaninya di Beverly Wilshire.

"Tapi kau tidak bisa memaksaku jika aku tidak mau memperpanjang kontrakku!"

"Kalau begitu aku tidak akan membayarmu," ancamnya sembari memgambil langkah keluar dari lift seolah aku tidak ada.

"Kau keterlaluan Harry! Ini tidak adil!"

Dia berhenti berjalan, berbalik, dan menghadapku seolah menantikan teriakkan lain yang akan keluar dari mulutku.

"Aku bisa saja melaporkan ini ke polisi!"

Harry tertawa hambar mengejekku, "dua hal, Griselda. Satu, kau tidak memegang salinan kontraknya dan dua, apa kau akan bercerita bahwa kau seorang escort? Kau bahkan bukan seorang escort. Dan aku akan mengalahkan apapun yang mungkin bisa kau lakukan. Apa itu cukup jelas?"

"Kau sangat menyebalkan!" Aku mendorong bahunya, tetapi itu nyaris tidak membuatnya bergerak sama sekali. Siapa aku yang berpikir bisa melawannya?

"Lagi pula itu hanya sebuah acara kecil. Mengapa kau mempersulit dirimu sendiri? Aku pikir kau pintar," katanya. Aku tidak tau apa aku memaafkannya atau tidak, apa aku akan datang kembali digandengannya ke acara itu lagi atau tidak. Aku tidak melakukan apapun, sementara ia menjauh tanpa setitik pikiran pun di otaknya.

"Griselda?" Panggilnya setelah membuat jarak di antara kami. Aku mulai berharap ia sedikit melembut dan akan minta maaf. "Carter sudah menunggu. Ayo."

Selagi limo ini melaju di aspal yang rata, perlahan-lahan kaca jendela mulai dirintiki oleh air hujan yang datang tanpa tanda. Semakin kami mengarah ke apartemenku, semakin deras hujan itu turun. Seketika aku merasa dingin saat cahaya kilat mulai menerangi langit malam lalu disusul oleh suara guntur yang menyambar.

Hujannya semakin deras dan jalan raya  mulai digenangi oleh air. Hanya dalam sekejap, petir-petir itu mulai berestafet. Aku mengalihkan perhatianku dari jendela ke ujung sepatu dan menutup kedua telingaku dengan jari telunjuk.

Aku tidak pernah menyukai hujan dan aku sangat membenci petir. Bukan saja karena bunyinya yang menakutkan, tapi juga cahaya kilat yang datang tiba-tiba dan mereka selalu membawaku pada kenangan buruk.

"Mama!!" Jeritku tak tega tapi suaraku sia-sia. Air mataku mengalir, tapi aku tidak tau apa yang kutangisi. Aku ketakutan. Kegelapan. Gemuruh. Sendirian. Aku benci semua yang ada disini.

Terus aku melihati Dad dari lubang kecil itu. Jarak pandangku tidak luas. Sedikit kulihat bisepnya lalu menghilang digantiian kilat. Lalu muncul lagi, dengan suara erangan disusul isakan tangis. Itu bukan milikku, mom menangis! Walaupun di tengah hujan deras aku yakin dia sedang menangis!

Dad menarik mom dan melempar tubuhnya ke hamparan kerikil di sebrang jalan, lalu menampar pipinya. Rambut dan bajunya berantakkan. Wajahnya memar dan tangannya bercap cengkraman. Mom mengatakan sesuatu pada dad, tetapi aku tak bisa mendengarnya, yang dapat kudengar tangisan dan air hujan yang jatuh seperti kerusuhan. Tangan kecilku berusaha untuk membuka pintu, tapi apa daya, gagangnys terlalu tinggi untuk kuraih.

Escort [Harry Styles]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang