Selamat Datang Rasa Sakit

39.7K 1.7K 80
                                    

Jika kehilangan bersifat mutlak, maka rasa sakit adalah ketepatan yang tak bisa di ingkari.

ENTAH sudah berapa lama ia duduk di pinggir rooftop rumah sakit. Sejak langit masih cerah hingga sekarang mulai memuram. Tak banyak yang ia lakukan selain menggerak-gerakan kakinya yang menggantung terlalu jauh dengan daratan sambil berpikir, kalau saja ia melompat dari atas sana, apa yang akan terjadi;

Yang pertama, ia mungkin akan langsung mati atau Yang kedua, mungkin ia tak akan benar-benar mati, mungkin ia akan sekarat terlebih dahulu, tulang belulangnya remuk dan otaknya cidera parah yang pada akhirnya berhenti berfungsi, sebelum akhirnya mati.

Ia tak punya tujuan pasti tentang apa yang ia lakukan di sana dengan kaus berwarna biru tua dan boomber berwarna hijau. Sangat bertolak belakang dengan apa yang seharusnya ia kenakan saat berkabung.

Memangnya ia berkabung?

Anak itu bahkan tak mengerti apa yang ia rasakan sekarang. Selain perasaan yang terus menyuruhnya untuk melompat dari sana, ia tak tau apa lagi yang ia rasakan. Mungkin sedikit rasa sakit, kecewa, takut, atau malah menyesal? Entahlah.

"Ternyata lo di sini." Lelaki itu langsung refleks memegang gundukan semen yang ia duduki karena terkejut dan hampir saja membuat tubuhnya terbang bebas, memang sesuai niatnya namun entah bagaimana tiba-tiba ia takut.

Gadis yang mengenakan dress hitam itu langsung duduk di sampingnya tanpa takut akan terjatuh. Gelagatnya benar-benar santai meski matanya masih sembab dan kemerahan, pasti gadis itu menangis sesenggukan sejak tadi.

"Orang tua lo panik banget nyariin." Ucapnya lagi sambil memainkan jemarinya yang saling bertautan. Sekilas ia memiliki niatan yang sama seperti yang lelaki itu pikirkan. Bagaimana tidak? Sahabatnya sejak kecil baru saja pergi ke langit menyusul bintang-bintang, pastilah gadis itu memanggis sesenggukan. Apalagi kepergiannya yang mendadak itu, membuat semua orang terkejut.

"Lo gak jadi lompat?" Kali ini gadis itu menoleh kearah lelaki di sampingnya dengan tatapan yang seolah mengatakan 'gue mau ikut lo', tatapan yang sama sekali tak di sukai oleh lelaki itu.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya dengan pandangan yang masih menatap kedua sepatu convers miliknya, "Turun sana." Perintahnya.

"Lo nyuruh gue lompat?" sebelah alisnya terangkat saat mengatakannya.

Lelaki itupun menoleh dengan pandangan malas, "Bukan lopat bego, tapi turun ke bawah pake tangga."

Wajah gadis itu langsung berubah kecut, tipe kecut yang di buat-buat seperti seorang pacar yang sedang merajuk, "Gak boleh kasar-kasar kata Rachel."

Mendengar nama gadis itu di sebut, niat lelaki itu entah bagaimana muncul kembali ke permukaan, seolah mendorongnya untuk segera melompat dari atas sana. Ia langsung membuang pandangannya ke sembarang arah, pada burung-burung yang bertengger di kabel listrik, pada awan yang bergerak perlahan, pada lalu lintas yang sedang padat di bawah, kemanapun kecuali kearah gadis itu.

"Pergi." Usirnya dingin. Kalau saja gadis itu tidak mengerti apa yang di rasakan lelaki di sampingnya, mungkin ia akan tersinggung dan marah-marah. Namun ia mengerti, mengerti bagaimana perasaan lelaki itu. Di tinggal pergi oleh kekasihnya untuk selamanya. Bukanlah hal baik, bukan sama sekali. Jadi ia hanya bisa memaklumi.

Gadis itu langsung menggelengkan kepalanya mantap, "Enggak ah. Gue mau liat lo bunuh diri, biar gue bisa jadi saksi mata. Dan kalo nanti polisi nanya, gue tinggal jawab 'Dia bunuh diri dengan alasan konyol pak, Pacarnya mati, dia mau nyusul juga. Bodoh kan?' gitu."

Lelaki itu berdecak kasar, "Siapa sih yang mau bunuh diri? Jangan sok tau." Ujarnya bohong.

Gadis itu pun menggerakan tangannya, merangkul tubuh lelaki di sampingnya dan meletakan kepalanya di bahunya. Lelaki itu sama sekali tak menolak, seolah tubuh, otak dan hatinya sedang linglung, di perlakukan seperti apapun, ia akan menurut saja. "Rachel ngelindungin lo, karena dia sayang sama lo. Ini bukan salah lo sama sekali, jadi jangan pernah nyalahin diri lo sendiri. Dan gue mohon, jangan pernah sia-siain hidup lo. Rachel pertaruhin semuanya buat lo."

Segala kenangan itu akhirnya terputar di otak lelaki itu seperti sebuah kaset rusak. Suara decitan itu masih terngiang-ngiang di telinganya seolah sedang terjadi saat ini juga. Suara teriakan orang-orang saat tubuhnya terdorong ke samping. Suara benturan benda keras yang menghantam tubuh Rachel—seseorang yang telah mendorongnya agar ia selamat. Seseorang yang hari ini terkubur di dalam gundukan tanah yang membuatnya juga terkubur dalam oleh rasa bersalah.

Air matanya pun mengalir sempurna. Air mata yang bahkan tak pernah ia keluarkan sejak peristiwa itu terjadi. Kini sesak itu semakin bertambah nyata. Menyadari kalau wanita itu telah pergi begitu jauh dan tak akan pernah kembali.

Tak ada lagi yang akan mengelus wajahnya, tak ada lagi yang akan membuatkannya sarapan. Tak ada lagi yang menemaninya bersembunyi di rooftop rumah sakit. Tak ada yang menemaninya melepaskan balon-balon harapan. Tak ada lagi yang menemaninya memandangi bintang.

Rachel telah pergi.

"Selama ini lo udah jagain gue Go. Tapi mulai sekarang, biarin gue yang jagain lo." Gadis itu mengelus kepala sahabatnya yang sedang menumpahkan segala rasa sakit di bahunya. Berharap ada sedikit rasa sakit yang berkurang. Meski sama saja seperti berharap Rachel akan kembali lagi. Semuanya terasa Mustahil.

M A S C H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang