Pernahkah kalian merasa hampa karena ditinggal pergi seseorang yang kalian cintai? Ya, mungkin, itulah yang saat ini dirasakan oleh seorang gadis ceria bernama Nada. Hidupnya menjadi kosong, hampa, tanpa warna. Hampa setelah orang yang ia kasihi pergi tanpa jejak. Kepergian itu berhasil merenggut keceriaannya.
Nada POV
Tiga bulan yang lalu...
Hujan deras mengguyur kota Jakarta. Aku sedang makan malam di rumah bersama papa. Ya, aku memang tinggal berdua bersamanya. Mama sudah meninggal dunia sejak aku berusia tiga tahun. Kami berbincang hangat sambil melepas rindu yang lama membelenggu. Pekerjaan papa membuat kami terpisah ruang dan waktu. Ya, papaku ini adalah sosok yang cinta pada karirnya. Cinta pada pengabdiannya pada negeri ini. Papaku adalah seorang Jenderal Angkatan Darat. Meski begitu, papa tetap menyayangiku sebagai anak gadisnya.
Kesibukanku di sekolah cukup meringankanku. Kegiatan OSIS cukup membuat waktu berjalan lebih cepat. Ya, jabatanku sebagai Ketua Umum OSIS sungguh menyita waktuku. Tapi, aku tak mengeluh. Seperti yang kubilang tadi, kegiatan ini sungguh membuatku tak kesepian dan sendirian di rumah sambil menunggu papa. Aku merasa bangga, karena aku bisa mengisi waktuku dengan kegiatan yang positif. Papa pun tak terlalu khawatir aku terjerumus pergaulan yang salah. Ya, beliau sudah sangat mengenaliku sebagai putri tunggalnya. Jadi, aku tak terlalu dikekang dengan pengamanan bodyguard ataupun ajudan papa yang super protektif. Aku merasa bersyukur karena itu.
"Nada Khayra Hendrawan!" panggil Bu Ola. Aku tersadar dari lamunanku dan menoleh ke arah Bu Ola.
"Tolong kamu kerjakan soal yang ada di papan tulis," perintahnya. Aku mengangguk, lalu berjalan menghampiri meja Bu Ola. Kuambil spidol hitam di mejanya dan mulai menulis jawaban soal-soal Matematika yang ada di papan tulis.
"Ini, Bu," ujarku sambil meletakkan kembali spidol tersebut.
Bu Ola berdiri lalu memeriksa hasil kerjaku, sementara itu aku kembali duduk di kursiku.
"Ya, jawabannya benar! Oke, untunglah kamu pintar, Nad. Lain kali, jangan melamun lagi ketika saya sedang menerangkan." pesannya. Aku tersenyum kikuk dan mengangguk.
Kriiinggg!!! Bel pulang berbunyi. Aku dan teman-temanku berjalan menuju ruang OSIS. Ya, sore ini kami akan mendiskusikan perihal kegiatan class meeting yang akan dilaksanakan bulan Mei mendatang. Sikapku yang periang dan cenderung suka bercanda, akan berubah menjadi serius saat memimpin rapat.
"Jadi, kendala apa yang kita miliki saat ini? Coba jelaskan setiap divisinya. Dimulai dari sekretaris." ujarku mengomandoi.
"Saya mengalami kendala dalam pembuatan proposal. Data siswa yang akan berpartisipasi dalam acara ini belum terhimpun semua." jelasnya. Aku mangut-mangut.
"Kalau saya, ada kendala di keuangan. Ada beberapa dari para siswa di sekolah ini yang tidak pernah sekalipun membayar kas." jelas bendahara.
"Oke, menurut saya–" belum selesai aku berbicara, tiba-tiba ponselku berdering. Rupanya temanku Silvia meneleponku.
"Sebentar, saya angkat telepon dulu." izinku. Aku berjalan keluar ruangan.
"Iya, ada apa Sil?" tanyaku.
"Nad, ada kabar buruk, Nad," ucapnya panik.
"Kenapa Sil, kenapa?" tanyaku bingung.
"Cowok lo, Nad..."
"Hah?! Kenapa? Kak Pandu kenapa?" tanyaku panik. Tiba-tiba, jantungku berdebar kencang. Perasaanku sungguh tak enak.
Ya Allah, apa yang terjadi dengan Kak Pandu???
"Lo lihat di TV, Nad! Lo harus lihat!"
Aku panik setengah mati. Dengan langkah cepat, kusambar tasku di atas meja, lalu berjalan menuju Dimas, wakilku.
"Dim, tolong gantiin gue mimpin rapat dulu, gue ada urgent. Harus pergi sekarang juga." bisikku.
Raut wajah Dimas berubah. Ia menatapku kebingungan. Tapi, aku mengisyaratkannya bahwa ini benar-benar urgent. Akhirnya ia mengangguk dan menggantikan tempatku.
Aku berjalan cepat di koridor kelas. Koridor begitu sepi, hingga aku bisa mendengar suara televisi di ruang guru.
Langkah kakiku terhenti sejenak saat kudengar berita tentang para tentara yang sedang melakukan misinya di Sumba.
"Sementara prajurit Angkatan Darat bernama Letda Pandu Arifin Ilham yang tempo hari dinyatakan menghilang dalam misi tersebut, kini dinyatakan meninggal dunia. Pihak TNI, kepolisian serta tim SAR telah menemukan bukti di hutan tempat misi tersebut dilaksanakan–"
Deg! Kakiku lemas seketika. Aku duduk bersimpuh di depan ruang guru.
Kepalaku pusing sekali. Perutku meraung-raung minta asupan makanan. Aku baru ingat kalau aku belum makan siang.
Lelaki itu. Lelaki itu belum meninggal, belum! Aku yakin akan hal itu. Kak Elang belum meninggal, dia masih hidup. Dia berjanji padaku untuk pulang. Ya, dia pasti pulang! Dia akan pulang untukku!
Hatiku pecah berkeping-keping. Air mataku berurai. Lelaki dingin itu adalah belahan jiwaku. Dialah pelabuhan hatiku. Meski terkadang sikapnya sungguh menyakitkan, aku tetap mencintainya. Cintaku teramat dalam padanya.
Tidak. Dia nggak mungkin pergi secepat ini. Bahkan, usia hubungan kami belum menginjak satu tahun. Dia pasti hendak memberiku kejutan. Dia masih hidup!
Aku mendongak. Kubulatkan tekad untuk mencari keberadaannya. Dia masih hidup, dia belum meninggal. Aku percaya itu. Semua orang perlu tahu, bahwa kekasihku belum meninggal. Dia pasti sedang mencari oleh-oleh untukku saat ini.
Aku berjalan tertatih-tatih untuk membuktikan keyakinanku. Sepanjang jalan, bayangan Kak Elang terus menghantui pikiranku. Aku tak berniat pulang ke rumah. Papa tak ada di rumah untuk membantuku. Jangankan membantuku, mengetahui hubunganku dengannya saja beliau tak tahu. Papa dan Kak Elang memang belum pernah bertemu. Mereka berbeda satuan.
Tenang saja, Kak. Aku pasti bisa menemukanmu.
Rintik hujan semakin deras. Hari semakin senja. Aku tak perlu takut sakit karena hujan, karena sejak kecil, aku sangat menyukai hujan. Jadi, sistem imun tubuhku sudah terbiasa dengan keadaan ini.
Aku berjalan tertatih-tatih menuju sebuah cafe di ujung jalan. Cafe itu adalah tempat kesukaan kami. Kami selalu mengunjunginya ketika Kak Elang mendapat IB. Dia pasti ada disana. Dia pasti sedang menungguku sambil menyesap frappucinonya. Ya, aku yakin itu.
Tiiinnnn...!!!
Saking kalutnya diriku, aku sampai tak mengindahkan klakson mobil ketika aku sedang menyeberangi jalan. Ketika aku menoleh ke arah kanan, aku hanya bisa berteriak pasrah. Tubuh kecilku tak sanggup lagi berlari.
"Aaaaaaaaaaa!!!"
Setelah itu, semuanya menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappeared Memory (Completed)
RomanceKetika sebuah memori harus memisahkan ikatan antara seorang tentara gagah dengan kekasihnya. Namun, tanpa kesengajaan, waktu kembali mempertemukan mereka setelah bertahun-tahun terpisah jarak kenangan. Cerita fiktif dari coretan-coretan absurd autho...