"Lettu Pandu, saya tugaskan kamu ikut ke dalam misi penumpasan teroris di hutan Sumba. Saya percayakan pengalamanmu di masa lalu. Hal itu pasti bisa sangat membantu."
Kata-kata Kapten Ari terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Hutan Sumba? Jadi maksudnya, aku harus kembali ke tempat di masa laluku dimana aku hampir kehilangan nyawaku sendiri?
"Aarghh," ucapku frustasi seraya menjambak rambutku.
Kalau seandainya bisa, aku pasti sudah menolak dan menghindar dari misi kali ini. Tapi, mau bagaimana lagi, aku hanyalah seorang tentara yang harus patuh terhadap panggilan tugas apapun.
Panggilan tugas adalah panggilan jiwa dan raga seorang ksatria sejati, batinku.
Aku masih duduk frustasi di lapangan. Kuseka keringatku di dahi dengan sebuah handuk putih kecil yang menggantung di leherku. Ya, aku baru saja selesai berolahraga. Kupikir dengan berolahraga, depresiku bisa hilang. Tapi nyatanya tidak.
"Selamat pagi, Danton." sapa seseorang tiba-tiba. Aku mendongak untuk melihat siapa yang baru saja menyapaku.
Dan rupanya yang barusan menyapaku adalah Serda Bayu, ajudan pribadi Jenderal.
"Eh, pagi juga." ucapku.
"Sedang apa disini, Danton?" tanyanya.
"Saya baru saja berolahraga. Memangnya kamu nggak lihat?" jawabku kesal.
"Siap, salah, Danton!" ucapnya tegas seraya menghormat padaku.
"Turunkan tanganmu." pintaku.
"Izin Danton, apa Danton ikut misi di hutan Sumba itu?" tanyanya.
Aku berpikir-pikir sejenak. Ah, kebetulan sekali dia adalah ajudan pribadi papanya Nada. Kalau begitu, bagaimana jika kutitipkan Nada saja padanya? Dia pasti aman bersamanya.
"Ikut, Dik. Oh ya, bisa saya minta tolong sama kau?" tanyaku.
"Siap, minta tolong apa, Danton?"
"Begini, selama saya ditugaskan disana, saya titip Nada bersamamu." pintaku. Serda Bayu nampak seperti berpikir-pikir sejenak.
"Bisa?" tanyaku memastikan.
"Siap, bisa, Danton!" tegasnya. Aku mengangguk.
"Tanggal 3 Januari nanti, dia ikut turnamen basket. Jika seandainya saya tidak bisa hadir, tolong gantikan saya disana. Kamu harus jadi penonton yang paling depan, yang paling semangat mendukungnya, terus nanti jadi orang pertama yang teriak kalau dia menang," pintaku seraya mengulangi janjiku sore itu.
"...Aku akan jadi orang yang paling mendukungmu, jadi penonton yang melihatmu di barisan terdepan, lalu jadi orang pertama yang berteriak atas kemenanganmu..."
"Siap, Danton!" tegasnya lagi.
Aku memalingkan wajahku. Kembali merenung akan tugas yang memanggilku. Aku akan berangkat tugas besok lusa, dan kembali pada awal bulan Januari. Tapi, aku tak bisa menjamin tanggal 3 sudah berada di tanah Jawa, dan menepati janjiku pada gadisku.
Maafkan aku, Nada.
***
Hari beranjak sore. Kukayuh sepeda anginku berjalan-jalan mengelilingi komplek asrama. Kuacuhkan setiap mata gadis yang terus mengiringiku di sepanjang perjalanan.
"Sore, Danton!" sapa beberapa anggotaku.
"Sore!" balasku.
"Sore, Ham. Mau kemana, kau?" sapa Kapten Rizki beserta istri dan anaknya yang masih bayi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappeared Memory (Completed)
Roman d'amourKetika sebuah memori harus memisahkan ikatan antara seorang tentara gagah dengan kekasihnya. Namun, tanpa kesengajaan, waktu kembali mempertemukan mereka setelah bertahun-tahun terpisah jarak kenangan. Cerita fiktif dari coretan-coretan absurd autho...