Pandu POV
"Assalamu'alaikum, Pa..." sapa Nada hangat.
"Wa'alaikumsalam," sapa sang ayah. Beliau berdiri di ambang pintu seraya menyambutku dan anaknya.
"Masuk, Nak. Ada yang mau papa bicarakan denganmu. Kamu juga, Letnan." ujar Pak Hendrawan.
Aku mengekor di belakang Nada yang baru selesai berlatih basket. Kami berjalan memasuki pekarangan rumahnya yang luas.
Nada agak terkejut melihat seorang tentara muda berdiri di ruang tamu rumahnya. Tapi tidak bagiku. Mungkin saja itu anggota papanya yang sedang ada urusan dengan beliau.
"Nada, kenalkan ini Serda Bayu. Dia adalah ajudan papa yang baru." ujar Pak Hendrawan memperkenalkan.
Dalam hati, aku kebingungan. Apa maksud Pak Hendrawan mencari ajudan baru? Apa kinerjaku kurang bagus baginya?
"Lettu Pandu," panggil Pak Hendrawan.
"Siap, Jenderal!" ucapku tegas.
"Mulai saat ini, kamu akan menjadi ajudan pribadi putri saya. Dia lebih membutuhkanmu daripada saya. Ini juga saya lakukan untuk meringankan beban pekerjaanmu. Bagaimanapun, kamu tetap seorang prajurit yang mempunyai kesibukan tersendiri di barak." tutur Pak Hendrawan.
"Siap, Jenderal!" ucapku. Hatiku melonjak senang. Ajudan pribadi Nada? Hal itu adalah kesempatan emas bagiku untuk lebih mendekatkan diri dengan putri Jenderal. Dengan begitu, aku akan kembali mendapatkan Nada sebagai kekasihku.
"Lho, Pa? Ajudan pribadi Nada? Apa nggak terlalu berlebihan?" tanya Nada bingung.
"Nggak lah, Nak. Papa nggak mau sesuatu terjadi padamu. Apalagi, sebentar lagi kamu akan mengikuti turnamen basket. Papa ingin memastikan anak papa baik-baik saja selama turnamen tersebut berlangsung." jelas Pak Hendrawan.
"Ya sudah deh, terserah papa aja. Nada pamit dulu ya, mau mandi. Dah Om Pandu," pamitnya seraya melambaikan tangannya padaku. Nada lalu berlari ceria meninggalkan kami.
Aku melirik jam tanganku. Lima menit lagi rapat akan segera dimulai.
"Izin, Pak! Saya pamit undur diri, karena sebentar lagi ada rapat dengan Pak Danyon." ujarku pamit. Pak Hendrawan mengangguk.
"Silakan." ujarnya. Aku mengucap salam lalu melangkah keluar dari rumah tersebut.
***
"Sin alfa dikali cos alfa..." gumam Nada sambil mencorat-coret buku Fisika di kamarnya.
Pandu berdiri di ambang pintu sambil membawa plastik putih berisi martabak pesanan Nada. Ia terkejut melihat Nada yang asyik belajar sambil tidur telungkup dan kedua kakinya disilangkan ke atas. Gadis itu memamerkan kaki jenjangnya yang putih mulus tanpa sadar.
Menyadari kehadiran pria itu, Nada menoleh dan terkejut histeris. Ia refleks menutupi bagian depan tubuhnya dengan selimut, karena malam ini ia hanya memakai tanktop berwarna merah muda dan celana pendek putih di atas lutut.
"Om Pandu! Ngapain Om di kamar aku?" jeritnya ketakutan.
Pandu mengernyitkan dahinya. Lalu meletakkan plastik itu di atas meja belajar Nada.
Ketika ia hendak berbalik dan berjalan keluar, suara Nada kembali menghentikan langkahnya.
"Om! Om belum jawab pertanyaanku. Om ngapain disini?!" tanyanya sewot.
Pandu menunjuk plastik tersebut dengan dagunya. "Tuh pesenan kamu. Papamu yang suruh aku antar ke sini. Lagian kenapa belajarnya sambil tidur? Terus itu meja belajar apa gunanya?" ujarnya datar. Nada menajamkan pandangannya.
"Ih, Om Pandu ngeselin! Kenapa nggak ketuk pintu dulu coba?!" tanyanya berapi-api.
"Hei, suruh siapa kamu biarkan pintu kamarmu terbuka. Aku nggak salah dong," ujarnya membela diri, masih dengan nada dinginnya. Nada mendecak kesal. Oke, ini yang kedua kalinya mereka berdebat masalah pintu.
***
Ceklek. Nada keluar dari kamarnya. Ia mengikat rambut panjangnya. Kini ia memakai kaus lengan pendek bergambar panda. Ya, berjaga-jaga siapa tahu Pandu masih berada di rumahnya. Tak mungkin kan ia memamerkan tubuh indahnya dengan hanya memakai tanktop di depan papanya dan Pandu.
Sayup-sayup ia mendengar suara televisi di ruang tengah. Benda berbentuk persegi panjang berukuran 32 inci itu tengah memutar siaran acara pertandingan sepak bola.
"Ya! Gol!" jerit Pak Hermawan senang. Nada mengintip di balik dinding untuk melihat siapa gerangan yang sedang menonton televisi. Apakah papanya itu sedang sendiri, atau berdua bersama Pandu. Sekilas ia melirik ke arah jam dinding. Waktu tepat menunjukkan pukul sembilan malam. Bukan waktu yang terlalu malam bagi tentara muda seperti Pandu untuk berada di rumahnya malam ini.
Yap. Ternyata dugaan Nada benar. Dua orang pria sedang duduk di sofa berwarna hijau pastel di depan televisi. Yang satu sedang menjerit kegirangan, sementara yang satunya lagi diam karena segan. Eh, diam karena segan, atau diam karena tim sepak bola andalannya kalah? Hmm, entahlah.
Nada melangkah pelan menuju papanya.
"Pa," sapanya seraya menepuk pelan pundak papanya.
"Eh, ada apa Nak?" tanya sang papa kaget.
"Nggak ada apa-apa, Pa." jawabnya.
"Kamu belum tidur?" tanya papa. Nada menggeleng.
"Besok kamu ujian kan?" tanyanya.
Nada mengangguk.
"Martabaknya sudah kamu habiskan?" tanyanya lagi. Nada kembali mengangguk.
Pandu sesekali mencuri pandangnya ke arah Nada. Ketika gadis itu menyadarinya, ia segera membuang pandangannya.
"Ya sudah, kamu tidur sana. Sudah malam. Besok kamu kan ujian." titahnya. Nada cemberut.
"Nada belum ngantuk, Pa." rengeknya.
"Atau mau ditemenin sama Pandu tidurnya?" goda sang papa. Nada refleks membelalakkan matanya. Begitu juga dengan Pandu yang terkejut mendengar gurauan sang Jenderal.
"Ih, nggak, Pa!" elaknya manja. Sang papa tertawa geli melihat tingkah manja anaknya.
"Ya sudah. Tidur sana," titahnya. Nada yang merasa terusir terpaksa meringsut kembali ke kamarnya. Ia lalu menutup dan mengunci pintu kamarnya.
"Kalau punya anak perempuan ya emang gitu," ujar Pak Hendrawan membuka mulut.
"Manjanya minta ampun. Tapi justru itu yang buat saya makin sayang sama Nada. Saya senang karena ia tak lagi terpuruk dengan masa lalunya. Ketika ibunya meninggal, dia menjadi anak pendiam." tutur Jenderal tersebut.
"Izin, benarkah itu, Pak?" tanya Pandu memberikan perhatiannya.
"Iya, Dik. Setelah masuk SMA, dia mulai ceria lagi. Tapi, setelah kecelakaan nahas itu menimpanya..." tutur sang Jenderal.
"Hhh, kasihan sekali anak saya. Beruntung ia masih bisa tersenyum manja sekarang, dan bisa melupakan masa lalunya. Dia adalah satu-satunya harta saya yang paling berharga. Ia lebih berharga daripada sebongkah berlian dan sebukit emas. Bagi saya, dia adalah segalanya." tuturnya lagi. Pandu merasa iba mendengarnya.
"Eh, kok saya malah curhat." tukasnya sambil tertawa ringan. Pandu tersenyum simpul.
"Maka dari itu, saya minta tolong kamu untuk jaga anak saya, Pandu. Saya sangat mempercayai kamu." lanjutnya.
"Siap, saya akan selalu menjaga putri bapak." ujarnya sambil menghormat. Pak Hendrawan tertawa geli melihat tingkah ajudan anaknya.
"Ndak usah pakai hormat segala toh, Lek. Biasa aja, kita kan lagi nggak di lapangan." ujarnya santai. Pandu tersenyum malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disappeared Memory (Completed)
RomanceKetika sebuah memori harus memisahkan ikatan antara seorang tentara gagah dengan kekasihnya. Namun, tanpa kesengajaan, waktu kembali mempertemukan mereka setelah bertahun-tahun terpisah jarak kenangan. Cerita fiktif dari coretan-coretan absurd autho...